Rabu, 25 Januari 2017

Filosofi Pacul

Selain sebagai negara maritim karena  lautan lebih luas dari daratannya, penduduk Indonesia ini telah lama juga dikenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian penduduknya adalah juga para petani.    Tanah nusantara dengan iklim tropisnya merupakan anugerah Sang Kuasa yang patut disyukuri, salah satu caranya adalah dengana cara memanfaatkannya bagi kesejahteraan umat.
Pekerjaan bercocoktanam sejatinya telah lama dilakukan penduduk Nusantara, yaitu selepas peradaban ini mulai tertata dan tak berpindah-pindah tempat laiknya zaman batu.       Bercocok tanam pada masa kejayaan Islam dengan “walisanga” acap diwarnai dengan pemahaman yang tak sekedar pada kegiatan saja, akan tetapi juga disertai ajaran-ajaran agar kita mengembalikan jatidiri pada sang penguasa hidup. Analogi dan filosofi sering dilambangkan pada segala kegiatan, salah satunya adalah ajaran filosofi yang dipandu oleh Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela mengenai alat pertanian berujud “cangkul” alias “pacul.”

Siapa itu Sunan Kalijaga?

Kalijaga atau ada yang menuliskanyannya “Kalijogo” diperkirakan memiliki usia mencapai lebih dari 100 tahun, yang lahir pada khir kekuasaan Majapahit, sekitar tahun 1478 karena beliau diperkirakan lahir dari darah adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta (Raden Sahur) pada 1450 Masehi dengan nama Raden Sahid yang juga dikenal sebagai Raden Mas Said.
Sunan Kalijaga diperkirakan juga mengalami masa kejayaan beberapa kerajaan Nusantara, antara lain Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang, serta awal kelahiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.   Hal itu diperkuat dengan bukti adanya pembangunan Masjid Agung Cirebon dan juga Masjid Agung Demak yang salah satu prakarsanya adalah juga Sunan Kalijogo, kreasi terkenalnya adalah tiang “tatal”  di Masjid Demak. Yaitu tiang penyangga yang terbuat dari pecahan kayu sebagai salah satu tiang utama masjid.
  • Asal nama Kalijaga

Selain Raden Sahid, sejatinya ada banyak nama yang disandang oleh Sunan Kalijaga, diantaranya adalah Lokajaya,  Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.  Sementara nama “Kalijaga” sendiri menurut cerita salah satu versi masyarakat Cirebon, berasal dari Desa Kalijaga yang berlokasi di wilayah Cirebon, tepatnya tatkala Raden Sahid bertempat-tinggal di sana, maka beliau acap melakukan ritual berendam di sungai (kali), lalu muncullah nama “jaga kali” yang artinya menjaga sungai.    Namun versi lain menceritakan bahwa nama Kalijaga disandang, pasalnya Raden Mas Said telah melaksanakan perintah SUnan Bonang yaitu menjaga tongkat yang ditancapkan di salah satu sisi sungai selama lebih dari tiga tahun. Ini menjadi bagian dari ritual yang diperintahkan Sunan Bonang sebab Raden Mas Said berkehendak menjadi anak-muridnya.
  • Silsilah Kalijaga

Ada simpang siur mengenai silsilah Kalijaga, sebab beberapa pendapat memaparkan bahwa Kalijaga masih merupakan keturunan Arab, namun dilihat dari tradisi dan selukbeluknya, tak sedikit yang yaqin bahwa beliau adalah orang Jawatulen.     Bahkan ketika Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah,  banyak orang tetap lebih merunut pada tulisan yang tertera pada Babad Tuban, yaitu yang menyatakan bahwa Aria Teja alias ‘Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan inilah lahir seorang anak dengan nama Aria Wilatikta.
Tome Pires, yaitu orang Portugal yang meninggal di Tiongkok terkenal sebagai penulis dengan karya terbesarnya, Suma Oriental (Dunia Timur), juga menyatakan bahwa penguasa Tuban tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban, sedangkan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.     Lain dari itu, sejarawan De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, yaitu paman Muhammad.
Selanjutnya dalam satu riwayat dipaparkan bahwa Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, yang kemudian mempunyai 3 keturunan, yaitu Raden Umar Said yang dikenal pula dengan nama Sunan Muria, Dewi Rakayuh, dan putri ketiganya adalah Dewi Sofiah.
  • Dakwah Sunan Kalijogo

Selepas berguru kepada Sunan Bonang, nama Kalijaga disematkan pada Raden Sahid yang kemudian menjadi salah satu bagian walisanga di tanah Jawa dengan tugas dakwah menyebarkan ajaran-ajaran agama. Serupa dengan mentornya, Sunan Bonang, dalam dakwah Sunan Kalijogo cenderung ‘sufistik berbasis salaf’  -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).   Selain itu, dalam dakwah beliau juga teteap memilih kesenian dan mempertahankan kebudayaan sebagai sarananya, sehingga Sunan Kalijaga bisa lebih gampang mengadakan pendekatan. Toleran pada budaya lokal menjadi kunci dalam dakwahnya,salah satunya adalah ajaran dengan memanfaatkan seni ukir, seni wayang, karawitan, dan pedalangan, tak ketinggalan seni suara suluk.
Beberapa lagu suluk yang populer berjudul Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul menjadi bukti kepopuleran penyebaran ajaran kebaikan dari Sunan Kalijaga terhadap masyarakat.   Selain itu tradisi perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu adalah ide kreasinya. Sedanhkan mengenai ilmu tata ruang, lanskap pusat kota berujud kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula adalah konsep hasil pemikiran dari Sunan Kalijaga.
Sebelum wafat dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak, Sunan Kalijaga acapkali juga memberikan wejangan terhadap orang-orang dekatnya, termasuk Ki Ageng Selo.

Siapa itu Ki Ageng selo?

Kyai Ageng Sela disebut juga sebagai Ki Ageng Ngabdurahman, yaitu seorang tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram Islam. Beliau merupakan guru Sultan Adiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang, yang juga kakek dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta.    Ki Ageng Selo yang bernama asli Bagus Sogom dan juga merupakan keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit ini banyak diceritakan dalam babad tanah Jawa sebagai kisah-kisah legenda.
Alkisah Brawijaya memiliki keturunan Bondan Kejawan yang tak diakui sebagai anak, dan selanjutnya Bondan Kejawen ini berputra Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa inilah yang memiliki keturunan berjuluk Ki Ageng Sela, dimana Ki Ageng Sela sendiri kemudian juga memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bernama Ki Ageng Ngenis atau acap dipanggil Ki Ageng Enis.  Dari Ki Ageng Ngenis inilah terlahir Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian menjadi penguasa pertama Mataram.
  • Silsilah Ki Ageng Selo ( Bagus Sunggam)

Dari Babad Jawa versi Mangkunegaran berikut adalah nama anak Ki Ageng Sela;
    1. Nyai Ageng Lurung Tengah
    2. Nyai Ageng Saba
    3. Nyai Ageng Basri
    4. Nyai Ageng Jati
    5. Nyai Ageng Patanen
    6. Nyai Ageng Pakis Dadu
    7. Ki Ageng Enis
  • Ki Ageng Sela Adalah Perintis Kesultanan Mataram Islam

Tokoh-tokoh perintis kerajaan Mataram Islam tak lain adalah keturunan Raden Bondan Kejawan yang juga merupakan putra Bhre Kertabhumi, raja terakhir kerajaan Majapahit.
Tokoh-tokoh itu adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi yang juga dikenal dengan “Tiga Serangkai Mataram.”   Mereka mendapatkan dukungan dari tokoh lain seperti Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lain yang masih satu garis keturunanan.
  • Legenda Ki Ageng Sela

Sesuai yang tersurat dalam naskah-naskah babad, kisah hidup Ki Ageng Sela yang bersifat legenda pada umumnya tetap dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.
Ki Ageng Sela yang tercatat sempat mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak, dan beliau merupakan prajurit pinilih sebab mampu menakhlukkan seekor banteng.    Hanya saja karena tak tega saat harus berlumuran darah, maka Sultan Demak menolaknya masuk ketentaraan.     Hal itu membuat Ki Ageng Sela menyingkir dari keramaian, nenepi alias menyepi di desa Sela yang kemudian berprofesi sebagai petani dan sekaligus guru spiritual.  Karenanya Ki Ageng Sela sempat pula menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang.
Dari  mendidik Jaka Tingkir inilah Ki Ageng Selo kemudian mempersatukan Jaka Tingkir dengan tiga cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi, yang juga  menjadi pelopor berdirinya Mataram.
Jika orang-orang tua dahulu, tatkala ada petir sering mengucapkan “Gandrik putune Ki Ageng Selo,‘ bisa jadi itu adalah bagian dari cerita legendanya. Karena pada satu catatan, Ki Ageng Sela pernah dikisahkan mampu menangkap petir tatkala sedang bercocoktanam.  Dengan “ilmu linuwih” (kelebihan ilmu) maka kemudian petir tersebut berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak, hanya saja kakek tua tersebut selanjutnya berhasil kabur dari penjara.
Demi mengenang kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir). Hiasan ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang yang memiliki gigi runcing diniatkan sebagai simbol petir hasil tangkapan Ki Ageng.
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal-usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak, dimana tatkala hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Apabila bnyaring buninya itu menjadi pertanda bahwa pihak Mataram akan menang, namun sebaliknya jika tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.         Ki Ageng Sela juga meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram yang berisi larangan-larangan demi mendapatkan keselamatan, yang selanjutnya dikenal dengan syair macapat berjudul “Pepali Ki Ageng Sela.”

Wejangan Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Selo

Sebagai orang yang pernah dekat dengan Sunan Kalijaga, meskipun pekerjaannya hanya bertani, Ki Ageng Sela juga seringkali memperoleh wejangan, nasehat, pun pesan dari Sunan Kalijogo yang acapkali dikaitkan dengan pekerjaannya.   Segala perilaku hidup dianalogikan dan kemudian dikupas makna filosofinya, termasuk juga alat untuk bertani berujud cangkul.
Bahwa Pacul terdiri dari 3 bagian, yang pertama adalah plat besi dinamakan sebagai Pacul itu sendiri.  Yang kedua adalah bawak, yang merupakan bagian melingkar pada pacul dan dimasukkan doran Sedangkan yang ketiga adalah doran, yaitu gagang dari cangkul.
  • PACUL
    Dari kata “ngipatake barang kang muncul lan mendugul”  kita bisa mengambil makna   makna tentang membuang bagian yang tidak rata. Bahwa sifat  memperbaiki ada pada kondisi ini.   Sadar sebagai manusia yang tak rata adalah sadar sebagai manusia yang terdapat banyak dosa, oleh karenanya kita harus selalu berbuat baik yaitu dengan cara membuang hal-hal yang ‘mendugul’ berujud dosa tadi.
  • BAWAK
    Adalah  obahing awak alias gerakan tubuh. Ini memiliki makna filosofi bahwa sudah semestinya sebagai orang hidup harus tetap bergerak supaya memperoleh  kesehatan ragawi. Lain dari itu adalah satu keniscayaan badan ini tetap bergerak untuk bekerja agar segala kegiatan duniawi ini mampu tercukupi.
  • DORAN
    Bisa di definisikan sebagai “Donga Marang Pangeran” yaitu Berdoa terhadap Tuhan. Mengondisikan kita sebagai umat sudah sepantasnya meminta pertolongan kepada Tuhan, berdo’a adalah salah satu medianya.
Itulah wejangan sang Sunan terhadap Ki Ageng, bahwa dengan cangkul ternyata tetap ada yang bisa kita kuak, yaitu menggali lapisan  yang ada di dalam lebih diperlukan dibanding  sebatas pada  lapisan luaran saja.  Ialah tanah-tanah pengertian yang mewujud kedalam bentuk lapisan pemahaman dan penerimaan pada perilaku hidup manusia.

0 komentar:

Posting Komentar

Maturnuwun