Wejangan
K
anjeng Nabi Khidzir Kepada Sunan Kalijogo
Di antara
para wali yang lain, Kanjeng Sunan Kalijaga bisa dikatakan satu-satunya wali
yang menggunakan pendekatan yang pas yaitu budaya Jawa. Dia sadar, tidak
mungkin menggunakan budaya lain untuk menyampaikan ajaran sangkan paraning
dumadi secara tepat. Budaya arab tidak cocok diterapkan di Jawa karena manusia
Jawa sudah hidup sekian ratus tahun dengan budayanya yang sudah mendarah
daging. Bahkan, setelah “dilantik” menjadi wali, dia mengganti jubahnya dengan
pakaian Jawa memakai blangkon atau udeng.
Oleh
Bonang yang saat itu sudah jadi guru spiritual ini, Syahid diminta duduk diam
bersila di pinggir sungai. Posisi duduk diam meneng ini di kalangan para yogi
dikenal dengan posisi meditasi. Syahid saat itu telah bertekad untuk mengubah
orientasi hidupnya secara total 180 derajat. Yang awalnya dia berjuang dalam
bentuk fisik, menjadi perjuangan dalam bentuk batin (metafisik). Dia telah
meninggalkan syariat masuk ke ruang hakekat untuk mereguk nikmatnya makrifat.
Namun
syarat yang diajarkan Sunan Bonang cuma satu: duduk, diam, meneng, mengalahkan
diri/ego dan patuh pada sang guru sejati (kesadaran ruh). Untuk menghidupkan
kesadaran guru sejati (ruh) yang sekian lama terkubur dan tertimbun nafsu dan
ego ini, Bonang menguji tekad Raden Syahid dengan menyuruhnya untuk diam di
pinggir kali. perintahnya hanya diminta untuk diam tok, tidak diminta untuk
dzikir atau ritual apapun.
Cukup
diam atau meneng di tempat. Dia tidak diminta memikirkan tentang Tuhan, atau
Dzat Yang Adikodrati yang menguasai alam semesta. Tidak, Sunan Bonang hanya
meminta agar sang murid untuk patuh, yaitu DIAM, MENENG, HENING, PASRAH,
SUMARAH, SUMELEH. Awalnya, orang diam pikirannya kemana-mana. Namun sekian
waktu diam di tempat, akal dan keinginannya akhirnya melemas dan akhirnya
benar-benar tidak memiliki daya lagi untuk berpikir, energi keinginan duniawinya
lepas landas dan lenyap. Raden Syahid mengalami suwung total, fana total karena
telah hilang sang diri/ego.
“BADANKU
BADAN ROKHANI, KANG SIFAT LANGGENG WASESA, KANG SUKSMA PURBA WASESA, KUMEBUL
TANPA GENI, WANGI TANPA GANDA, AKU SAJATINE ROH SAKALIR, TEKA NEMBAH, LUNGO
NEMBAH, WONG SAKETI PADA MATI, WONG SALEKSA PADA WUTA, WONG SEWU PADA TURU,
AMONG AKU ORA TURU, PINANGERAN YITNA KABEH….”
Demikian
gambaran kesadaran ruh Raden Syahid kala itu. Berapa lama Raden Syahid diam di
pinggir sungai? Tidak ada catatan sejarah yang pasti. Namun dalam salah satu
hikayat dipaparkan bahwa sang sunan bertapa hingga rerumputan menutupi tubuhnya
selama lima tahu. Setelah dianggap selesai mengalami penyucian diri dengan
bangunnya kesadaran ruh, Sunan Bonang menggembleng muridnya dengan kawruh
ilmu-ilmu agama. Dianjurkan juga oleh Bonang agar Raden Syahid berguru ke para
wali yang sepuh yaitu Sunan Ampel di Surabaya dan Sunan Giri di Gresik. Raden
Syahid yang kemudian disebut Sunan Kalijaga ini menggantikan Syekh Subakir
gigih berdakwah hingga Semenanjung Malaya hingga Thailand sehingga dia juga
diberi gelar Syekh Malaya.
Malaya
berasal dari kata ma-laya yang artinya mematikan diri. Jadi orang yang telah
mengalami “mati sajroning urip” atau orang yang telah berhasil mematikan
diri/ego hingga mampu menghidupkan diri-sejati yang merupakan guru sejati-NYA.
Sebab tanpa berhasil mematikan diri, manusia hanya hidup di dunia fatamorgana,
dunia apus-apus, dunia kulit. Dia tidak mampu untuk masuk ke dunia isi, dan
menyelam di lautan hakikat dan sampai di palung makrifatullah.
Salah
satu ajaran Sunan Kalijaga yang didapat dari guru spiritualnya, Sunan Bonang,
adalah ajaran hakikat shalatsebagaimana yang ada di dalam
SULUK
WUJIL: UTAMANING SARIRA PUNIKI, ANGRAWUHANA JATINING SALAT, SEMBAH LAWAN
PUJINE, JATINING SALAT IKU, DUDU NGISA TUWIN MAGERIB, SEMBAH ARANEKA, WENANGE
PUNIKU, LAMUN ARANANA SALAT, PAN MINANGKA KEKEMBANGING SALAM DAIM, INGARAN TATA
KRAMA. (Unggulnya diri itu mengetahui HAKIKAT SALAT, sembah dan pujian. Salat yang
sesungguhnya bukanlah mengerjakan salat Isya atau maghrib. Itu namanya
sembahyang. Apabila disebut salat, maka itu hanya hiasan dari SALAT DAIM, hanya
tata krama).
Di sini,
kita tahu bahwa salat sejati adalah tidak hanya mengerjakan sembah raga atau tataran
syariat mengerjakan sholat lima waktu. Salat sejati adalah SALAT DAIM, yaitu
bersatunya semua indera dan tubuh kita untuk selalu memuji-Nya dengan kalimat
penyaksian bahwa yang suci di dunia ini hanya Tuhan:
Sebagaimana
yang ada di dalam Suluk Wujil: PANGABEKTINE INGKANG UTAMI, NORA LAN WAKTU
SASOLAHIRA, PUNIKA MANGKA SEMBAHE MENENG MUNI PUNIKU, SASOLAHE RAGANIREKI, TAN
SIMPANG DADI SEMBAH, TEKENG WULUNIPUN, TINJA TURAS DADI SEMBAH, IKU INGKANG
NIYAT KANG SEJATI, PUJI TAN PAPEGETAN. (Berbakti yang utama tidak mengenal
waktu. Semua tingkah lakunya itulah menyembah. Diam, bicara, dan semua gerakan
tubuh merupakan kegiatan menyembah. Wudhu, berak dan kencing pun juga kegiatan
menyembah. Itulah niat sejati. Pujian yang tidak pernah berakhir)
Jadi hakikat
yang disebut Sholat Daim nafas kehidupan yang telah manunggaling kawulo lan
gusti, yang manifestasinya adalah semua tingkah laku dan perilaku manusia yang
diniatkan untuk menyembah-Nya. Selalu awas, eling dan waspada bahwa apapun yang
kita pikirkan, apapun yang kita kehendaki, apapun yang kita lakukan ini adalah
bentuk yang dintuntun oleh AKU SEJATI, GURU SEJATI YANG SELALU MENYUARAKAN
KESADARAN HOLISTIK BAHWA DIRI KITA INI ADALAH DIRI-NYA, ADA KITA INI ADALAH
ADA-NYA, KITA TIDAK ADA, HANYA DIA YANG ADA.
Sholat
daim ini juga disebut dalam SULUK LING LUNG karya Sunan Kalijaga: SALAT DAIM
TAN KALAWAN, MET TOYA WULU KADASI, SALAT BATIN SEBENERE, MANGAN TURU SAHWAT
NGISING. (Jadi sholat daim itu tanpa menggunakan syariat wudhu untuk
menghilangkan hadats atau kotoran. Sebab kotoran yang sebenarnya tidak hanya
kotoran badan melainkan kotoran batin. Salat daim boleh dilakukan saat apapun,
misalnya makan, tidur, bersenggama maupun saat membuang kotoran.)
Ajaran
makrifat lain Sunan Kalijaga adalah IBADAH HAJI. Tertera dalam Suluk Linglung
suatu ketika Sunan Kalijaga bertekad pergi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah
haji. Di tengah perjalanan dia dihentikan oleh Nabi Khidir. Sunan dinasehati
agar tidak pergi sebelum tahu hakikat ibadah haji agar tidak tersesat dan tidak
mendapatkan apa-apa selain capek. Mekah yang ada di Saudi Arabia itu hanya
simbol dan MEKAH YANG SEJATI ADA DI DALAM DIRI.
Dalam
suluk wujil disebutkan sebagai berikut:
NORANA
WERUH ING MEKAH IKI, ALIT MILA TEKA ING AWAYAH, MANG TEKAENG PRANE YEN ANA
SANGUNIPUN, TEKENG MEKAH TUR DADI WALI, SANGUNIPUN ALARANG, DAHAT DENING EWUH,
DUDU SREPI DUDU DINAR, SANGUNIPUN KANG SURA LEGAWENG PATI, SABAR LILA ING
DUNYA.
MESJID
ING MEKAH TULYA NGIDERI, KABATOLLAH PINIKANENG TENGAH, GUMANTUNG TAN PACACANTHEL,
DINULU SAKING LUHUR, LANGIT KATON ING NGANDHAP IKI, DINULU SAKING NGANDHAP,
BUMI ANENG LUHUR, TINON KULON KATON WETAN, TINON WETAN KATON KULON IKU SINGGIH
TINGALNYA AWELASAN.
(Tidak
tahu Mekah yang sesugguhnya. Sejak muda hingga tua, seseorang tidak akan
mencapai tujuannya. Saat ada orang yang membawa bekal sampai di Mekah dan
menjadi wali, maka sungguh mahal bekalnya dan sulit dicapai. Padahal, bekal
sesungguhnya bukan uang melainkan KESABARAN DAN KESANGGUPAN UNTUK MATI.
SESABARAN DAN KERELAAN HIDUP DI DUNIA. Masjid di Mekah itu melingkar dengan
Kabah berada di tengahnya. Bergantung tanpa pengait, maka dilihat dari atas
tampak langit di bawah, dilihat dari bawah tampak bumi di atas. Melihat yang
barat terlihat timur dan sebalinya. Itu pengelihatan yang terbalik).
Maksudnya,
bahwa ibadah haji yang hakiki adalah bukanlah pergi ke Mekah saja. Namun lebih
mendalam dari penghayatan yang seperti itu. Ibadah yang sejati adalah pergi ke
KIBLAT YANG ADA DI DALAM DIRI SEJATI. Yang tidak bisa terlaksana dengan bekal
harta, benda, kedudukan, tahta apapun juga.
Namun
sebaliknya, harus meletakkan semua itu untuk kemudian meneng, diam, dan
mematikan seluruh ego/aku dan berkeliling ke kiblat AKU SEJATI. Inilah Mekah
yang metafisik dan batiniah. Memang pemahaman ini seperti terbalik, JAGAD
WALIKAN. Sebab apa yang selama ini kita anggap sebagai KEBENARAN DAN KEBAIKAN
MASIHLAH PEMAHAMAN YANG DANGKAL. APA YANG KITA ANGGAP TERBAIK, TERTINGGI
SEPERTI LANGIT DAN PALING BERHARGA DI DUNIA TERNYATA TIDAK ADA APA-APANYA DAN
SANGAT RENDAH NILAINYA.
Apa bekal
agar sukses menempuh ibadah haji makrifat untuk menziarahi diri sejati?
Bekalnya adalah kesabaran dan keikhlasan. Sabar berjuang dan memiliki iman yang
teguh dalam memilih jalan yang barangkali dianggap orang lain sebagai jalan
yang sesat.
Ibadah
haji metafisik ini akan mengajarkan kepada kita bahwa episentrum atau pusat
spiritual manusia adalah BERTAWAF. Berkeliling ke RUMAH TUHAN, berkeliling
bahkan masuk ke AKU SEJATI dengan kondisi yang paling suci dan bersimpuh di
KAKI-NYA YANG MULIA. Tujuan haji terakhir adalah untuk mencapai INSAN KAMIL,
yaitu manusia sempurna yang merupakan kaca benggala kesempurnaan-Nya.
Sunan
Kalijaga adalah manusia yang telah mencapai tahap perjalanan spiritual
tertinggi yang juga telah didaki oleh Syekh Siti Jenar.Berbeda dengan Syekh
Siti Jenar yang berjuang di tengah rakyat jelata, Sunan Kalijaga karena
dilahirkan dari kerabat bangsawan maka dia berjuang di dekat wilayah kekuasaan.
Di bidang politik, jasanya terlihat saat akan mendirikan kerajaan Demak, Pajang
dan Mataram. Sunan Kalijaga berperan menasehati Raden Patah (penguasa Demak)
agar tidak menyerang Brawijaya V (ayahnya) karena beliau tidak pernah
berlawanan dengan ajaran akidah. Sunan Kalijaga juga mendukung Jaka Tingkir
menjadi Adipati Pajang dan menyarankan agar ibukota dipindah dari Demak ke
Pajang (karena Demak dianggap telah kehilangan kultur Jawa.
Pada
suatu ketika saat Kanjeng Sunan Kalijogo bertemu dengan Kanjeng Nabi Khidir.
Kanjeng Nabi Khidir berhenti sejenak, lalu berkata “ Matahari berbeda dengan
Bulan “, perbedaannya terdapat pada cahaya yang dipancarkannya sudahkah hidayah
iman terasa dalam dirimu? Tauhid adalah pengetahuan penting untuk menyembah
pada Allah, juga makrifat harus kita miliki untuk mengetahui kejelasan yang
terlihat, ya ru’yat ( melihat dengan mata telanjang ) sebagai saksi adanya yang
terlihat dengan nyata.
Maka dari
itu kita dalami sifat dari Allah, sifat Allah yang sesungguhnya, Yang Asli,
asli dari Allah. Sesungguhnya Allah itu, allah yang hidup. Segala afalnya
(perbuatanya) adalah bersal dari Allah. Itulah yang demaksud dengan ru’yati.
Kalau hidupmu senantiasa kamu gunakan ru’yat, maka itu namanya khairat
(kebajikan hidup). Makrifat itu hanya ada di dunia. Jauhar awal khairat
(mutiara awal kebajikan hidup), sudah berhasil kau dapatkan. Untuk itu secara
tidak langsung sudah kamu sudah mendapatkan pengawasan kamil (penglihatan yang
sempurna). Insan Kamil (manusia yang sempurna) berasal dari Dzatullah (Dzatnya
Allah). Sesungguhnya ketentuan ghaib yang tersurat, adalah kehendak Dzat yang
sebenarnya. Sifat Allah berasal dari Dzat Allah. Dinamakan Insan Kamil kalau
mengetahui keberadaan Allah itu. Bilamana tidak tertulis namamu, di dalam nuked
ghaib insan kamil, itu bukan berarti tidak tersurat. Ya, itulah yang dinamakan
puji budi (usaha yang terpuji). Berusaha memperbaiki hidup, akan menjadikan
kehidupan nyawamu semakin baik. Serta badannya, akan disebut badan Muhammad,
yang mendapat kesempurnaan hidup”.
Syekh
Malaya berkata lemah lembut, “mengapa sampai ada orang mati yang dimasukkan
neraka? Mohon penjelasan yang sebenarnya”.
Kanjeng
Nabi Khidir berkata dengan tersemyum manis, “Wahai Malaya! Maksudnya begini.
Neraka jasmani juga berada di dalam dirimu sendiri, dan yang diperuntukkan bagi
siapa saya yang belum mengenal dan meniru laku Nabiyullah. Hanya ruh yang tidak
mati. Hidupnya ruh jasmani itu sama dengan sifat hewan, maka akan dimasukkan ke
dalam neraka. Juga yang mengikuti bujuk rayu iblis, atau yang mengikuti nafsu
yang merajalela seenaknya tanpa terkendali, tidak mengikuti petunjuk Gusti
Allah SWT. Mengandalkan ilmu saja, tanpa memperdulikan sesama manusia keturunan
Nabi Adam, itu disebut iman tadlot. Ketahuilah bahwa umat manusia itu termasuk
badan jasmanimu. Pengetahuan tanpa guru itu, ibarat orang menyembah tanpa
mengetahui yang disembah. Dapat menjadi kafir tanpa diketahui, karena yang
disembah kayu dan batu, tidak mengerti apa hukumnya, itulah kafir yang bakal
masuk neraka jahanam.
Adapun
yang dimaksudkan Rud Idhafi adalah sesuatu yang kelak tetap kekal sampai akhir
nanti kiamat dan tetap berbentuk ruh yang berasal dari ruh Allah. Yang dimaksud
dengan cahaya adalah yang memancar terang serta tidak berwarna, yang senantiasa
meserangi hati penuh kewaspadaan yang selalu mawas diri atau introspeksi
mencari kekurangan diri sendiri serta mempersiapkan akhir kematian nanti.
Merasa sebagai anak Adam yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatan.
Ruh
Idhafi seudah ada sebelum tercipta. Syirik itu dapat terjadi, tergantung saat
menerima sesuatu yang ada, itulah yang disebut Jauhar Ning. keenamnya jauhar
awal. Jauhar awal adalah mutiara ibaratnya. Mutiara yang indah penghias raga
agra nampak menarik. Mutiara akan tampak indah menawan. Bermula dari ibarat
ketujuh, dikala mendengarkan sabda Allah, maka Ruh Idhafi akan menyesuaikan,
yang terdapat di dalam Dzat Allah Yang Mutlak. Ruh serba psrah kepada
Dzatullah, itullah yang dimaksudkan Ruh Idhafi. Jauhar awal itu pula, yang
menimbulkan Shalat Daim. Shalat Daim tidak perlu mengunakan air wudhu, untuk
membersihkan khadas tidak disyaratkan. Itulah shalat batin yang sebenarnya,
diperbolehkan makan tidur syahwat maupun buang kotoran, demikianlah tadi cara
shalat Daim. Perbuatan itu termasuk hal terpuji, yang sekaligus merupakan
perwujudan syukur kepada Allah. Jauhar tadi bersatu padu menghilangkan sesuatu
yang menutupi atau mempersulit mengetahui keberadaan Allah Yang Terpilih.
Adanya itu menujukkan adanya Allah, yang mustahil kalau tidak berwujud
sebelumnya.
Kehidupan
itu seperti layar dengan wayangnya, sedang wayang itu tidak tahu warna dirinya.
Akibat junub sudah bersatu erat tetap bersih badan jisimmu. Adapun Muhammad
badan Allah. Nama Muhammad tidak pernah pisah dengan nama Allah. Bukakah
hidayah itu perlu diyakini? Sebagai pengganti Allah? Dapat pula disebut utusan
Allah. Nabi Muhammad juga termasuk badan mukmin atau orang yang beriman. Ruh
mukmin identik pula dengan Ruh Idhafi dalam keyakinanmu. Disebut iman maksum,
kalau sudah mendapat ketetapan sebagai panutan jati. Bukankah demikian itu
pengetahuanmu? Kalau tidak hidup begitu, berarti itu sama dengan hewan yang
tidak tahu adanya sesuatu di masa yang telah lewat.
Kelak,
karena tidak mengetahui ke-Islaman, maka matinya tersesat, kufur serta kafir
badannya namun bagi yang telah mendapatkan pelajaran ini, segala permasalahan
dipahamilebih seksama baru dikerjakan, Allah itu tidak berjumlah tiga yang
menjadi suri tauladan adalah Nabi Muhammad.
Bukankah
sebenarnya orang kufur itu, mengingkari empat masalah prinsip. Di antaranya
bingung karena tiada pedoman manusia yang dapat diteladani. Kekafiran
mendekatkan pada kufur kafir. Fakhir dekat dengan kafir. Sebabnya karena kafir
itu, buta dan tuli tidak mengerti tentang surga dan neraka. Fakhir tidak akan
mendekatkan pada Tuhan. Tidak mungkin terwujud pendekatan ini, tidak menyembah
dan memuji, karena kekafirannya. Seperti itulah kalau fakhir terhadap
Dzatullah. Dan sesungguhnya Gusti Allah, mematikan kefakhiran manusia,
kepastianny ada di tanga Allah semata-mata. Adapun wujud Dzatullah itu, tidak
ada stu makhluk pun yang mengetahui kecuali Allah sendiri. Ruh Idhafi
menimbulkan iman. Ruh Idhafi berasal dari Allah Yang Maha Esa, itulah yang
disebut iman tauhid. Meyakini adanya Allah juga adanya Muhammad sebagai
Rasulullah.
Tauhid
hidayah yang sudah ada padamu, menyatu dengan Tuhan Yang Terpilih. Menyatu
dengan Gusti Allah, baik di dunia maupun di akhirat. Dan kamu harus menyatu
bahwa Gusti Allah itu ada dalam dirimu. Ruh Idhafi ada di dalam dirimu.
Makrifat itu sebutannya. Hidupnya disebut Syahadat, hidup tunggal didalam
hidup. Sujud rukuk sebagai penghiasnya. Rukuk berarti dekat dengan Tuhan
Pilihan. Penderitaan yang selalu menyertai menjelang ajal tidak akan terjadi
padamu, jangan takut menghadapi sakaratil maut. Jangan ikut-ikutan takut
menjelang pertemuanmu dengan Allah. Perasaan takut itulah yang disebut dengan
sekarat.
Ruh
Idhafi tidak akan mati. Hidup mati, mati hidup. Akuilah sedalam-dalamnya bahwa
keberadaanmu itu, terjadi karena Allah itu hidup dan menghidupi dirimu, dan
menghidupi segala yang hidup. Sastra Alif (huruf alif) harus dimintakan
penjelasannya pada guru. Jabar jer-nya pun harus berani susah payah
mendalaminya. Terlebih lagi poengetahuan tentang kafir dan syirik! Sesungguhnya
semua itu, tidak dapat dijelaskan dengan tepat maksud sesungguhnya. Orang yang
menjelaskan syariat itu berarti sudah mendapatkan anugrah sifat Gusti Allah.
Sebagai sarana pengabdian hamba kepada Gusti Allah. Yang menjalankan shalat
sesungguhnya raga.
Raga yang
shalat itu terdorong oleh adanya iman yang hidup pada diri orang yang
menjalankannya. Seandainya nyawa tidak hidup, maka Lam Tamsyur (maka tidak akan
menolong) semua perbuatan yang dijalankan. Secara yang tersurat, shalat itu
adalah perbuatan dan kehendak orang yang menjalankan, namun sebenarnya
Allah-lah yang berkehendak atas hambanya. Itulah hakikat dari Tuhan
penciptanya. Ruh Idhafi berada di tangan orang mukmin. Semua ruh berada di
tangan-Nya. Yaitu terdapat pada Ruh Idhafi. Ruh Idhafi adalah sifat jamal
(sifat yang bagus atau indah) keindahan yang berasal Dzatullah. Ruh Idhafi nama
sebuah tingkatan (maqom), yang tersimpan pada diri utusan Allah (Rasulullah).
Syarat jisim lathif (jasad halus0 itu, harus tetap hidup dan tidak boleh mati.
Cahayanya
berasal dari ruh itu, yang terus menerus meliputi jasad. Yang mengisayaratkan
sifat jalal (sifat yang perkasa) dan sekaligus mengisyaratkat adanya sifat
jamal (sifat keindahan). Jauhar awal mayit (mutiara awal kematian) itu, memberi
isyarat hilangnya diri ini. Setelah semua menemui kematian di dunia, maka akan
berganti hidup di akherat. Kurang lebih tiga hari perubahan hidup itu pasti
terjadi. Asal mula manusia terlahir, dari adanya Ayah, Ibu serta Tuhan Yang
Maha Pencipta. Satu kelahiran berasal dari tiga asal lahir.
Ya,
itulah isyarat dari tiga hari. Setelah dititipkan selama tujuh hari, maka
dikembalikan kepada yang meninipkan (yang memberi amanat). Titipan itu harus
seperti sedia kala. Bukankah tauhid itu sebagai srana untuk makrifat? Titipan
yang ketiga puluh hari, itu juga termasuk juga titipan, yang ada hanya
kemiripan dengan yang tujuh hari. Kalau menangis mengeluarkan air mata
karena menyesali sewaktu masih hidup. Seperti teringat semasa kehidupan itu
berasal dari Nur. Yang mana cahayanya mewujudkan dirimu. Hal itulah yang menimbulkan
kesedihan dan penyesalan yang berkepanjangan. Tak terkecuali siapun yang
merasakan itu semua, sebagaimana kamu mati, saya merasa kehilangan.
Mati atau
hilang bertepatan hari kematian yang keempat puluh hari. Bagaimanakah yang
lebih tepat untuk melukiskan persamaan sesama makhluk hidup secara
keseluruhannya? Allah dan Muhammad semuannya berjumlah satu. Seratuspun dapat
dilukiskan seperti satu bentuk, seperti diibaratkan dengan adanya cahaya yang
bersember dari cahaya Muhammad yang sesungguhnya. Sama hal pada saat kamu
memohon sesuatu. Ruh jasad hilang di dalamnya, kehadirat Tuhan Yang Maha
Pemberi. Tepat pada hari keseribu, tidak ada yang tertinggal. Kembalinya pada
allah sudah dalam keaadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama dalam
keadaan yang sempurna. Sempurna seperti mula pertama diciptakan”.
Syekh
Malaya terang hatinya, mendengarkan pelajaran yang baru diterima dari gurunya
Syekh Mahyuningrat Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya senang hatinya sehingga
beliu belum mau keluar dari dalam tubuh Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya
menghaturkan sembah, sambil berkata manis seperti gula madu. “Kalau begitu
hamba tidak mau keluar dari raga dalam tuan. Lebih nyaman di sini saja yang
bebas dari sengsara derita, tiada selera makan tidur, tidak merasa ngantuk dan
lapar, tidak harus bersusah payah dan bebas dari rasa pegal dan nyeri. Yang
terasa hanyalah rasa nikmat dan manfaat”. Kanjeng Nabi Khidir memperingatkan,
“yang demikian tidak boleh kalau tanpa kematian”.
Kanjeng
Nabi Khidir semakin iba kepada pemohon yang meruntuhkan hatinya. Kata Kanjeng
nabi Khidir, “kalau begitu yang awas sajalah terhadap hambatan upaya. Jangan
sampai kau kembali. Memohonlah yang benar dan waspada. Anggaplah kalau sudah
kau kuasai, jangan hanya digunakan dengan dasar bila ingat saja, karena hal itu
sebagai rahasia Allah. Tidak diperkenankan mengobrol kepada sesama manusia,
kalau tanpa seizin-Nya! Sekiranya akan ada yang mempersolakan, memperbincangkan
masalah ini! Jangan sampai terlanjur! Jangan sampai membanggakan diri! Jangan
peduli terhadap gangguan, cobaan hidup! Tapi justru terimalah dengan sabar!
Cobaan hidup yang menuju kematian, ditimbulkan akibat buah pikir. Bentuk yang
sebenarnya ialah tersimpan rapat di dalam jagadmu! Hidup tanpa ada yang
menghidupi kecuali Allah saja.
Tiada
antara lamanya tentang adanya itu. Bukankah sudah berada di tubuh? Sungguh,
bersama lainnya selalu ada dengan kau! Tak mungkin terpisahkan! Kemudian tidak
pernah memberitahunakan darimana asalnya dulu. Yang menyatu dalam gerak
perputaran bawana. Bukankah berita sebenarnya sudah ada padamu? Cara
mendengarnya adalah denga ruh sejati, tidak menggunakan telinga. Cara
melatihnya, juga tanpa dengan mata. Adpun telingannya, matanya yang diberikan
oleh allah. Ada padamu itu. Secara batinnya ada pada sukma itu sendiri. Memang
demikianlah penerapannya. Ibarat seperti batang pohon yang dibakar, pasti ada
asap apinya, menyatu dengan batang pohonnya. Ibarat air dengan alunnya. Seperti
minyak dengan susu, tubuhnya dikuasai gerak dan kata hati.
Demikian pun
dengan Hyang Sukma, sekiranya kita mengetahui wajah hamba Tuhan dan sukma yang
kita kehendaki ada, diberitahu akan tempatnya seperti wayang ragamu itu. Karena
datanglah segala gerak wayang. Sedangkan panggungnya jagd. Bentuk wayang adalah
sebagai bentuk badan atau raga. Bergerak bila digerakkan. Segala-galanya tanpa
kelihatan jelas, perbuatan dengan ucapan. Yang berhak menentukan semuanya,
tidak tampak wajahnya. Kehendak justru tanpa wujud dalam bentuknya. Karena
sudah ada pada dirimu. Permisalan yang jelas ketika berhias.
Yang
berkaca itu Hyang Sukma, adapun bayangan dalam kaca itu ialah dia yang bernama
manusia sesungguhnya, terbentuk di dalam kaca. Lebih besar lagi pengetahuan
tentang kematian ini dibandingkan dengan kesirnaan jagad raya, karena lebih
lembutseperti lembunya air. Bukankah lebih lembut kematian manusia ini? Artinya
lembut kesirnaan manusia? Artinya lebih dari, karena menentukan segalanya.
Sekali lagi artinya lembut ialah sangat kecilnya. Dapat mengenai yang kasar dan
yang kecil. Mencakup semua yang merangkak, melata tiada bedanya, benar-benar
serba lebih. Lebih pula dalam menerima perintah dan tidak boleh mengandalkan
pada ajaran dan pengetahuan. Karena itu bersungguh-sungguhlah menguasainya.
Pahamilah liku-liku solah tingkah kehidupan manusia! Ajaran itu sebagai ibarat
benih sedangkan yang diajari ibarat lahan.
Misal
kacang dan kedelai. Yang disebar di atas batu. Kalau batunya tanpa tanah pada
saat kehujanan dan kepanasan, pasti tidak tidak akan tumbuh. Tapi bila kau
bijaksana, melihatmu musnahkanlah pada matamu! Jadikanlah penglihatanmu sukma
dan rasa. Demikian pula wujudmu, suaramu. Serahkan kembali kepada yang Empunya
suara! Justru kau hanya mengakui saja sebagai pemiliknya. Sebenarnya hanya
mengatasnamai saja. Maka dari itu kau jangan memiliki kebiasaan yang
menyimpang, kecuali hanya kepada Hyang Agung. Dengan demikian kau Hangraga
Sukma. Yaitu kata hatimu sudah bulat menyatu dengan kawula Gusti. Bicarakanlah
manurut pendapatmu! Bila pendapatmu benar-benar meyakinkan, bila masih
merasakan sakit dan was-was, berarti kejangkitan bimbang yang sebenarnya. Bila
sudah menyatu dalam satu wujud. Apa kata hatimu dan apa yang kau rasakan. Apa
yang kau pikir terwujud ada. Yang kau cita-citakan tercapai. Berarti sudah
benar untukmu. Sebagai upah atas kesanggupanmu sebagai khalifah di dunia. Bila
sudah memahami dan menguasai amalan dan ilmu ini, hendaknya semakin cermat dan
teliti atas berbagai masalah.
Masalah
itu satu tempat dengan pengaruhnya. Sebagai ibaratnya sekejap pun tak boleh
lupa. Lahiriah kau landasilah dengan pengetahuan empat hal. Semuanya
tanggapilah secara sama. Sedangkan kelimanya adalah dapat tersimpan dengan
baik, berguna dimana saja! Artinya mati di dalam hidup. Atau sama dengan hidup
di dalam mati. Ialah hidup abadi. Yang mati itu nafsunya. Lahiriah badan yang
menjalani mati. Tertimpa pada jasad yang sebenarnya. Kenyataannya satu wujud.
Raga sukma, sukma muksa.
Jelasnya
mengalami kematian! Syekh Malaya, terimalah hal ini sebagai ajaranku dengan
senang hatimu! Anugrah berupa wahyu akan datang kepadamu. Seperti bulan yang
diterangi cahaya temaram. Bukankah turnya wahyu meninggalkan kotoran? Bersih
bening, hilang kotorannya”.
Kemudian
Kanjeng Nabi Khidir berkata dengan lembut dan tersenyum. “Tak ada yang dituju,
semua sudah tercakup haknya. Tidak ada yang diharapkan dengan keprawiraan,
kesaktian semuanya sudah berlalu. Toh semuanya itu alat peperangan”. Habislah
sudah wejangan Kanjeng Nabi Khidir. Syekh Malaya merasa sungkan sekali di dalam
hati. Mawas diri ke dalam dirinya sendiri. Kehendak hati rasanya sudah mendapat
petunjuk yang cukup. Rasa batinya menjelajah jagad raya tanpa sayap.
Keseluruh
jagad raya, jasadnya sudah terkendali. Menguasai hakekat semua ilmu. Misalnya
bunga yang masih lam kuncup, sekarang sudah mekar berkembang dan baunya
semerbak mewangi. Karena sudah mendapat san Pancaretna, kemudian Sunan Kalijaga
disuruh kelura dari raga Kanjeng Nabi Khidir kembali ke alamnya semula”.
Lalu
Kanjeng Nabi Khidir berkata, “He, Malaya. Kau sudah diterima Hyang Sukma.
Berhasil menyebarkan aroma Kasturi yang sebenarnya. Dan rasa yang memanaskan
hatimu pun lenyap. Sudah menjelajahi seluruh permukaan bumi. Artinya godaan
hati ialah rasa qonaah yang semakin dimantapkan. Ibarat memakai pakaian sutra
yang indah. Selalu mawas diri. Semua tingkah laku yang halus. Diserapkan
kedalam jiwa, dirawat seperti emas.
Dihiasi
dengan keselamatan, dan dipajang seperti permata, agar mengetahui akan kemauan
berbagai tingkah laku manusia. Perhaluslah budi pekermu atau akhlak ini! Warna
hati kita yang sedang mekar baik, sering dinamakan Kasturi Jati. Sebagai
pertanda bahwa kita tidak mudah goyah, terhadap gerak-gerik, sikap hati yang
ingin menggapai sesuatu tanpa ilmu, ingin mendalami tentang ruh itu justru
keliru. Lagi pula secara penataan, kita itu ibaratnya busana yang dipakai
sebagai kerudung. Sedangkan yang ikat kepala sebagai sarungmu. Kemudian
terlibat ingatan ketika dulu. Ibarat mendalami mati ketika berada di dalam
rongga ragaku.
Tampak
oleh Sunan Kalijaga cahaya. Yang warnanya merah dan kuning itu, sebagai
hambatan yang menghadang agar gagal usaha atauu ikhtiar atau cita-citanya. Dan
yang putih di tengah itulah yang sebenarnya harus diikuti. Kelimanya harus
tetap diwaspadai. Kuasailah seketika jangan sampai lupa! Bisa dipercaya
sifatnya. Berkat kesediaanku berbuat sebagai penyekat. Untuk alat pembebas
sifat berbangga diri. Yang selalu didambakan siang dan malam. Bukankah aku
banyak sekali melekat atau mengetahui caranya pemuka agama yang ternyata salah
dalam penafsiran.
Dan
penyampaian keterangannya? Anggapannya sudah benar. Tak tahunya malah mematikan
pengertian yang benar. Akibatnya terperosok dalam penerapannya. Ada pemuka
agama yang ibaratnya menjadi murung. Ia hanya sekedar mencari tempat bertengger
saja. Yaitu pada batang kayu yang baik rimbun, lebat buahnya, kuat batangnya.
Untuk kemuliaan hidup baru. Ada orang yang berkedudukan, ada yang ikut orang
kaya. Akhirnya di masyarakatkan. Ibaratnya seperti sekedar memperoleh kemuliaan
sepele. Jadinya tersesat-sesat. Ada pula yang justru memiliki jalan terpaksa.
Menumpuk
kekayaan harta dan istri banyak.
Ada pula
yang memilih jalan menguasai putranya. Putra yang bakal menguasai hak asasi
orang per orang. Semuanya ingin mendapatkan yang serba lebih di dalam memiliki
jalan mereka. Kalau demikian halnya, menurut pendapatku, belumlah mereka
disebut pemuka agama yang berserah diri sepenuhnya kepada Allah, tapi masih
berkeinginan pribadi atau berambisi. Agar semua itu menjunjung harkat dan
martabat. Tatanan yang tidak pasti, belum bisa disebut manusia utama.
Yang
demikian itu menurut anggapannya dan perasaannya mendapatkan kebahagiaan,
kekayaan dan mengerti hak yang benar. Bila kemudian tertimpa kedudukan,
terlanjur terbiasa. Memilih jalan sembarang tempat, tanpa mengahasilkan jerih
payahnya dan tanpa hasil. Dalam arti mengalami kegagalan total.
Setidak-tidaknya menimbulkan kecurigaan. Apa kebiasaan ketika hidup didunia.
Ketika menghadapi datangnya maut, disitulah biasanya tidak kuat menerima ajal.
Merasa berat meninggalkan kehidupan dunia yang tersangkal lagi. Pokoknya masih
lekat sekali pada kehidupan duniawi. Begitulah beratnya amencari kemuliaan.
Tidak
boleh lagi merasa terlekat kepada anak-istri. Pada saat-saat menghadap ajatnya.
Bila salah menjawab pertanyaannya bumi, lebih baik jangan jadi manusia! Kalau
matinya tanpa pertanggung jawaban. Bila kau sudah merasa hatimu benar. Akan
hidup abadi tanpa hisab. Akibatnya, tubuh bumi itu keterdiamannya tidak
membantu. Kesepiannya tidak mencair. Tidak mempedulikan pembicaraan orang lain
yang ditujukan kepadanya. Yaitu bagaimana hilang dan mati bersama raganya ialah
diidamkannya. Sehingga mempertinggi semedinya, untuk mengejar keberhasilan.
Tapi sayang tanpa petunjuk Allah, apalagi hanya semedi semata. Tidak disertai dukungan
ilmu.
Wedharing
Sholat
Shalat
Syariat iku manembahing raga, sesucine mawa toya (banyu). Yen katrima mahanani
makrifating Syariat . Tegese weruhe panca indera. Kayata mripat
ndeleng gumelare donya nyebabake percaya manawa kabeh mau mesthi ana kang
nitahake, yaiku kang sinebut Pangeran utawa Gusti Allah. Kapercayan kang
mangkene iki disebut wajibul yakin.
(Shalat
Syariat itu menyembahnya Raga, disucikan dengan air. Bila Ketrima Menyebabkan
Makrifatnya Syariat, Maksudnya mengetahui secara panca indra. Seperti Mata
melihat lebarnya Dunia yang menyebabkan percaya bahwa semua itu pasti ada yang
menciptakan, yang disebut Gusti Alloh. Kepercayaan seperti ini disebut Wajibul
Yakin)
Shalat
tarekat iku manembahing cipta (ati), sesucine merangi hawa nafsu, sesirik. Yen
katrima mahanani makrifating tarekat. Tegese weruhe sipangerti, lire
kapercayane kanthi pangerti marang sejatine kang sinebut Pangeran iku, ora mung
tiru-tiru wong akeh wae.
Kapercayan
ngene iki dirani ainul yakin.
(Shalat Tarekat
itu menyembahnya Cipta (Hati), disucikan dengan memerangi hawa nafsu, contohnya
kepercayaannya disebabkan karena pengertiannya terhadap yang Sejati yang
disebut Alloh tidak hanya latah dan meniru - niru seperti pada umumnya.
Kepercayaan seperti ini disebut Ainul Yakin)
Shalat
Makrifat iku manembahing jiwa (roh) kang mawa piranti “rasa jati”, sesucine
sarana eneng, ening, awas, lan eling. Yen katrima mahanani makrifating
Makrifat. Tegese weruhe si-rasa jati. Lire kapercayan ora kandheg ing pangerti bae.
Kapercayan ngene iki diarani haqqul yakin. Ing tataran/tingkatan iki wis wiwit
kebuka werna-werna hijab (warana) kang ngaling-alingi antarane titah karo kang
nitahake. Nanging ya tingkatan iki kang banget gawate, karana akeh begalane.
(Shalat
Makrifat itu menyembahnya Jiwa(Roh), Yang melalui sarana "Rasa
Sejati", disucikan dengan cara eneng, ening, awas, lan eling. Bila Ketrima
Menyebabkan Makrifatnya Makrifat. Maksudnya mengetahui sang Rasa Sejati.
Contohnya kepercayaannya tidak hanya sebatas Pengertian saja. Kepercayaan
seperti ini disebut Haqqul Yakin. pada Tingkatan ini sudah mulai terbuka macam
- macam Hijab (warana) yang menghalang - halangi antara Perintah dan Sang
pemberi Perintah. Namun pada tingkatan ini sangat gawat / susah sekali, karena banyak
penjegalnya.)
Shalat
Hakekat. Iku panembahing sukma. Yaiku jiwa kang kuwasa tanpa piranti (sang
alus/urip). Sesucine sarana wairagya, yaiku ngipatake sawernaning gegayuhan apa
wae, kajaba mung tumuju marang Pangeran (Allah SWT), yen katrima mahanani
makrifating makrifat utawa sejatining makrifat. Lire percaya tanpa piranti,
sarta tan kena kinaya ngapa. Iya ing kene tingkatan iki kasebut leburing papan
kalawan tulis, cep tan kena kinecap, diarani isbatul yakin, yaiku teteping
kapercayan.
(Shalat Hakekat
itu menyembahnya Sukma, Yang Jiwa yang Kuasa tanpa sarana (sang Ghoib / Sang
Hidup), disucikan dengan cara WAiragya, Yaitu mengesampingkan dan menolak hawa
nafsu / keinginan apapun, kecuali hawa nafsu / keinginan yang tertuju pada
Alloh. Bila Ketrima Menyebabkan Makrifatnya Hakikat atau sejatinya Hakikat.
Contohnya kepercayaannya tanpa butuh alasan, dan tanpa disebabkan oleh apaun.
Yaitu Teguh nya sebuah kepercayaan.
0 komentar:
Posting Komentar
Maturnuwun