Rabu, 11 Januari 2017

Sejarah Walisongo


Sejarah Wali Songo Lengkap (Cerita Wali Songo)

http://juragansejarah.blogspot.com
Walisongo” berarti sembilan orang wali”
Mereka adalah Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid

Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel. Sunan Bonang dan Sunan Drajad adalah anak Sunan Ampel. Sunan Kalijaga merupakan sahabat sekaligus murid Sunan Bonang. Sunan Muria anak Sunan Kalijaga. Sunan Kudus murid Sunan Kalijaga. Sunan Gunung Jati adalah sahabat para Sunan lain, kecuali Maulana Malik Ibrahim yang lebih dahulu meninggal.

Mereka tinggal di pantai utara Jawa dari awal abad 15 hingga pertengahan abad 16, di tiga wilayah penting. Yakni Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, serta Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual yang menjadi pembaharu masyarakat pada masanya. Mereka mengenalkan berbagai bentuk peradaban baru: mulai dari kesehatan, bercocok tanam, niaga, kebudayaan dan kesenian, kemasyarakatan hingga pemerintahan.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Pesantren Ampel Denta dan Giri adalah dua institusi pendidikan paling penting di masa itu. Dari Giri, peradaban Islam berkembang ke seluruh wilayah timur Nusantara. Sunan Giri dan Sunan Gunung Jati bukan hanya ulama, namun juga pemimpin pemerintahan. Sunan Giri, Bonang, Kalijaga, dan Kudus adalah kreator karya seni yang pengaruhnya masih terasa hingga sekarang. Sedangkan Sunan Muria adalah pendamping sejati kaum jelata.




Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia. Khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat “sembilan wali” ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.


Masing-masing tokoh tersebut mempunyai peran yang unik dalam penyebaran Islam. Mulai dari Maulana Malik Ibrahim yang menempatkan diri sebagai “tabib” bagi Kerajaan Hindu Majapahit; Sunan Giri yang disebut para kolonialis sebagai “paus dari Timur” hingga Sunan Kalijaga yang mencipta karya kesenian dengan menggunakan nuansa yang dapat dipahami masyarakat Jawa -yakni nuansa Hindu dan Budha.

1. Maulana Malik Ibrahim
Maulana Malik Ibrahim, atau Makdum Ibrahim As-Samarkandy diperkirakan lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad 14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy, berubah menjadi Asmarakandi

Maulana Malik Ibrahim kadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sebagian rakyat malah menyebutnya Kakek Bantal. Ia bersaudara dengan Maulana Ishak, ulama terkenal di Samudra Pasai, sekaligus ayah dari Sunan Giri (Raden Paku). Ibrahim dan Ishak adalah anak dari seorang ulama Persia, bernama Maulana Jumadil Kubro, yang menetap di Samarkand. Maulana Jumadil Kubro diyakini sebagai keturunan ke-10 dari Syayidina Husein, cucu Nabi Muhammad saw.

Maulana Malik Ibrahim pernah bermukim di Campa, sekarang Kamboja, selama tiga belas tahun sejak tahun 1379. Ia malah menikahi putri raja, yang memberinya dua putra. Mereka adalah Raden Rahmat (dikenal dengan Sunan Ampel) dan Sayid Ali Murtadha alias Raden Santri. Merasa cukup menjalankan misi dakwah di negeri itu, tahun 1392 M Maulana Malik Ibrahim hijrah ke Pulau Jawa meninggalkan keluarganya.

Beberapa versi menyatakan bahwa kedatangannya disertai beberapa orang. Daerah yang ditujunya pertama kali yakni desa Sembalo, daerah yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Desa Sembalo sekarang, adalah daerah Leran kecamatan Manyar, 9 kilometer utara kota Gresik.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Aktivitas pertama yang dilakukannya ketika itu adalah berdagang dengan cara membuka warung. Warung itu menyediakan kebutuhan pokok dengan harga murah. Selain itu secara khusus Malik Ibrahim juga menyediakan diri untuk mengobati masyarakat secara gratis. Sebagai tabib, kabarnya, ia pernah diundang untuk mengobati istri raja yang berasal dari Campa. Besar kemungkinan permaisuri tersebut masih kerabat istrinya.

Kakek Bantal juga mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam. Ia merangkul masyarakat bawah -kasta yang disisihkan dalam Hindu. Maka sempurnalah misi pertamanya, yaitu mencari tempat di hati masyarakat sekitar yang ketika itu tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Selesai membangun dan menata pondokan tempat belajar agama di Leran, tahun 1419 M Maulana Malik Ibrahim wafat. Makamnya kini terdapat di kampung Gapura, Gresik, Jawa Timur.n

2. Sunan Ampel
Ia putera tertua Maulana Malik Ibrahim. Menurut Babad Tanah Jawi dan Silsilah Sunan Kudus, di masa kecilnya ia dikenal dengan nama Raden Rahmat. Ia lahir di Campa pada 1401 Masehi. Nama Ampel sendiri, diidentikkan dengan nama tempat dimana ia lama bermukim. Di daerah Ampel atau Ampel Denta, wilayah yang kini menjadi bagian dari Surabaya (kota Wonokromo sekarang)

Beberapa versi menyatakan bahwa Sunan Ampel masuk ke pulau Jawa pada tahun 1443 M bersama Sayid Ali Murtadho, sang adik. Tahun 1440, sebelum ke Jawa, mereka singgah dulu di Palembang. Setelah tiga tahun di Palembang, kemudian ia melabuh ke daerah Gresik. Dilanjutkan pergi ke Majapahit menemui bibinya, seorang putri dari Campa, bernama Dwarawati, yang dipersunting salah seorang raja Majapahit beragama Hindu bergelar Prabu Sri Kertawijaya.

Sunan Ampel menikah dengan putri seorang adipati di Tuban. Dari perkawinannya itu ia dikaruniai beberapa putera dan puteri. Diantaranya yang menjadi penerusnya adalah Sunan Bonang dan Sunan Drajat. Ketika Kesultanan Demak (25 kilometer arah selatan kota Kudus) hendak didirikan, Sunan Ampel turut membidani lahirnya kerajaan Islam pertama di Jawa itu. Ia pula yang menunjuk muridnya Raden Patah, putra dari Prabu Brawijaya V raja Majapahit, untuk menjadi Sultan Demak tahun 1475 M.
http://juragansejarah.blogspot.com/2013/05/sejarah-wali-songo-lengkap-cerita-wali.html
Di Ampel Denta yang berawa-rawa, daerah yang dihadiahkan Raja Majapahit, ia membangun mengembangkan pondok pesantren. Mula-mula ia merangkul masyarakat sekitarnya. Pada pertengahan Abad 15, pesantren tersebut menjadi sentra pendidikan yang sangat berpengaruh di wilayah Nusantara bahkan mancanegara. Di antara para santrinya adalah Sunan Giri dan Raden Patah. Para santri tersebut kemudian disebarnya untuk berdakwah ke berbagai pelosok Jawa dan Madura.

Sunan Ampel menganut fikih mahzab Hanafi. Namun, pada para santrinya, ia hanya memberikan pengajaran sederhana yang menekankan pada penanaman akidah dan ibadah. Dia-lah yang mengenalkan istilah “Mo Limo” (moh main, moh ngombe, moh maling, moh madat, moh madon). Yakni seruan untuk “tidak berjudi, tidak minum minuman keras, tidak mencuri, tidak menggunakan narkotik, dan tidak berzina.”

Sunan Ampel diperkirakan wafat pada tahun 1481 M di Demak dan dimakamkan di sebelah barat Masjid Ampel, Surabaya.

3. Sunan Giri
Ia memiliki nama kecil Raden Paku, alias Muhammad Ainul Yakin. Sunan Giri lahir di Blambangan (kini Banyuwangi) pada 1442 M. Ada juga yang menyebutnya Jaka Samudra. Sebuah nama yang dikaitkan dengan masa kecilnya yang pernah dibuang oleh keluarga ibunya–seorang putri raja Blambangan bernama Dewi Sekardadu ke laut. Raden Paku kemudian dipungut anak oleh Nyai Semboja (Babad Tanah Jawi versi Meinsma).

Ayahnya adalah Maulana Ishak. saudara sekandung Maulana Malik Ibrahim. Maulana Ishak berhasil meng-Islamkan isterinya, tapi gagal mengislamkan sang mertua. Oleh karena itulah ia meninggalkan keluarga isterinya berkelana hingga ke Samudra Pasai.

Sunan Giri kecil menuntut ilmu di pesantren misannya, Sunan Ampel, tempat dimana Raden Patah juga belajar. Ia sempat berkelana ke Malaka dan Pasai. Setelah merasa cukup ilmu, ia membuka pesantren di daerah perbukitan Desa Sidomukti, Selatan Gresik. Dalam bahasa Jawa, bukit adalah “giri”. Maka ia dijuluki Sunan Giri.

Pesantrennya tak hanya dipergunakan sebagai tempat pendidikan dalam arti sempit, namun juga sebagai pusat pengembangan masyarakat. Raja Majapahit -konon karena khawatir Sunan Giri mencetuskan pemberontakan- memberi keleluasaan padanya untuk mengatur pemerintahan. Maka pesantren itupun berkembang menjadi salah satu pusat kekuasaan yang disebut Giri Kedaton. Sebagai pemimpin pemerintahan, Sunan Giri juga disebut sebagai Prabu Satmata.

Giri Kedaton tumbuh menjadi pusat politik yang penting di Jawa, waktu itu. Ketika Raden Patah melepaskan diri dari Majapahit, Sunan Giri malah bertindak sebagai penasihat dan panglima militer Kesultanan Demak. Hal tersebut tercatat dalam Babad Demak. Selanjutnya, Demak tak lepas dari pengaruh Sunan Giri. Ia diakui juga sebagai mufti, pemimpin tertinggi keagamaan, se-Tanah Jawa.

Giri Kedaton bertahan hingga 200 tahun. Salah seorang penerusnya, Pangeran Singosari, dikenal sebagai tokoh paling gigih menentang kolusi VOC dan Amangkurat II pada Abad 18.

Para santri pesantren Giri juga dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih ke berbagai pulau, seperti Bawean, Kangean, Madura, Haruku, Ternate, hingga Nusa Tenggara. Penyebar Islam ke Sulawesi Selatan, Datuk Ribandang dan dua sahabatnya, adalah murid Sunan Giri yang berasal dari Minangkabau.

Dalam keagamaan, ia dikenal karena pengetahuannya yang luas dalam ilmu fikih. Orang-orang pun menyebutnya sebagai Sultan Abdul Fakih. Ia juga pecipta karya seni yang luar biasa. Permainan anak seperti Jelungan, Jamuran, lir-ilir dan cublak suweng disebut sebagai kreasi Sunan Giri. Demikian pula Gending Asmaradana dan Pucung -lagi bernuansa Jawa namun syarat dengan ajaran Islam.

4. Sunan Bonang
Ia anak Sunan Ampel, yang berarti juga cucu Maulana Malik Ibrahim. Nama kecilnya adalah Raden Makdum Ibrahim. Lahir diperkirakan 1465 M dari seorang perempuan bernama Nyi Ageng Manila, puteri seorang adipati di Tuban

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya
setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah

yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.


5. Sunan Kalijaga
Dialah “wali” yang namanya paling banyak disebut masyarakat Jawa. Ia lahir sekitar tahun 1450 Masehi. Ayahnya adalah Arya Wilatikta, Adipati Tuban -keturunan dari tokoh pemberontak Majapahit, Ronggolawe. Masa itu, Arya Wilatikta diperkirakan telah menganut Islam

Nama kecil Sunan Kalijaga adalah Raden Said. Ia juga memiliki sejumlah nama panggilan seperti Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban atau Raden Abdurrahman.Terdapat beragam versi menyangkut asal-usul nama Kalijaga yang disandangnya.

Masyarakat Cirebon berpendapat bahwa nama itu berasal dari dusun Kalijaga di Cirebon. Sunan Kalijaga memang pernah tinggal di Cirebon dan bersahabat erat dengan Sunan Gunung Jati. Kalangan Jawa mengaitkannya dengan kesukaan wali ini untuk berendam (‘kungkum’) di sungai (kali) atau “jaga kali”. Namun ada yang menyebut istilah itu berasal dari bahasa Arab “qadli dzaqa” yang menunjuk statusnya sebagai “penghulu suci” kesultanan.

Masa hidup Sunan Kalijaga diperkirakan mencapai lebih dari 100 tahun. Dengan demikian ia mengalami masa akhir kekuasaan Majapahit (berakhir 1478), Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, bahkan juga Kerajaan Pajang yang lahir pada 1546 serta awal kehadiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati. Ia ikut pula merancang pembangunan Masjid Agung Cirebon dan Masjid Agung Demak. Tiang “tatal” (pecahan kayu) yang merupakan salah satu dari tiang utama masjid adalah kreasi Sunan Kalijaga.

Dalam dakwah, ia punya pola yang sama dengan mentor sekaligus sahabat dekatnya, Sunan Bonang. Paham keagamaannya cenderung “sufistik berbasis salaf” -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Ia juga memilih kesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.

Ia sangat toleran pada budaya lokal. Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap: mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang.

Maka ajaran Sunan Kalijaga terkesan sinkretis dalam mengenalkan Islam. Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta Baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.

Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga. Di antaranya adalah Adipati Padanaran, Kartasura, Kebumen, Banyumas, serta Pajang (sekarang Kotagede – Yogya). Sunan Kalijaga dimakamkan di Kadilangu -selatan Demak.

6. Sunan Gunung Jati
Banyak kisah tak masuk akal yang dikaitkan dengan Sunan Gunung Jati. Diantaranya adalah bahwa ia pernah mengalami perjalanan spiritual seperti Isra’ Mi’raj, lalu bertemu Rasulullah SAW, bertemu Nabi Khidir, dan menerima wasiat Nabi Sulaeman. (Babad Cirebon Naskah Klayan hal.xxii).

Semua itu hanya mengisyaratkan kekaguman masyarakat masa itu pada Sunan Gunung Jati. Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah diperkirakan lahir sekitar tahun 1448 M. Ibunya adalah Nyai Rara Santang, putri dari raja Pajajaran Raden Manah Rarasa. Sedangkan ayahnya adalah Sultan Syarif Abdullah Maulana Huda, pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina.

Syarif Hidayatullah mendalami ilmu agama sejak berusia 14 tahun dari para ulama Mesir. Ia sempat berkelana ke berbagai negara. Menyusul berdirinya Kesultanan Bintoro Demak, dan atas restu kalangan ulama lain, ia mendirikan Kasultanan Cirebon yang juga dikenal sebagai Kasultanan Pakungwati.

Dengan demikian, Sunan Gunung Jati adalah satu-satunya “wali songo” yang memimpin pemerintahan. Sunan Gunung Jati memanfaatkan pengaruhnya sebagai putra Raja Pajajaran untuk menyebarkan Islam dari pesisir Cirebon ke pedalaman Pasundan atau Priangan.

Dalam berdakwah, ia menganut kecenderungan Timur Tengah yang lugas. Namun ia juga mendekati rakyat dengan membangun infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan antar wilayah.

Bersama putranya, Maulana Hasanuddin, Sunan Gunung Jati juga melakukan ekspedisi ke Banten. Penguasa setempat, Pucuk Umum, menyerahkan sukarela penguasaan wilayah Banten tersebut yang kemudian menjadi cikal bakal Kesultanan Banten.

Pada usia 89 tahun, Sunan Gunung Jati mundur dari jabatannya untuk hanya menekuni dakwah. Kekuasaan itu diserahkannya kepada Pangeran Pasarean. Pada tahun 1568 M, Sunan Gunung Jati wafat dalam usia 120 tahun, di Cirebon (dulu Carbon). Ia dimakamkan di daerah Gunung Sembung, Gunung Jati, sekitar 15 kilometer sebelum kota Cirebon dari arah barat.

7. Sunan Drajat
Nama kecilnya Raden Qosim. Ia anak Sunan Ampel. Dengan demikian ia bersaudara dengan Sunan Bonang. Diperkirakan Sunan Drajat yang bergelar Raden Syaifuddin ini lahir pada tahun 1470 M. Sunan Drajat mendapat tugas pertama kali dari ayahnya untuk berdakwah ke pesisir Gresik, melalui laut. Ia kemudian terdampar di Dusun Jelog –pesisir Banjarwati atau Lamongan sekarang. Tapi setahun berikutnya Sunan Drajat berpindah 1 kilometer ke selatan dan mendirikan padepokan santri Dalem Duwur, yang kini bernama Desa Drajat, Paciran-Lamongan.

Dalam pengajaran tauhid dan akidah, Sunan Drajat mengambil cara ayahnya: langsung dan tidak banyak mendekati budaya lokal. Meskipun demikian, cara penyampaiannya mengadaptasi cara berkesenian yang dilakukan Sunan Muria. Terutama seni suluk. Maka ia menggubah sejumlah suluk, di antaranya adalah suluk petuah “berilah tongkat pada si buta/beri makan pada yang lapar/beri pakaian pada yang telanjang’.

Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang bersahaja yang suka menolong. Di pondok pesantrennya, ia banyak memelihara anak-anak yatim-piatu dan fakir miskin.

8. Sunan Kudus
Nama kecilnya Jaffar Shadiq. Ia putra pasangan Sunan Ngudung dan Syarifah (adik Sunan Bonang), anak Nyi Ageng Maloka. Disebutkan bahwa Sunan Ngudung adalah salah seorang putra Sultan di Mesir yang berkelana hingga di Jawa. Di Kesultanan Demak, ia pun diangkat menjadi Panglima Perang.

Sunan Kudus banyak berguru pada Sunan Kalijaga. Kemudian ia berkelana ke berbagai daerah tandus di Jawa Tengah seperti Sragen, Simo hingga Gunung Kidul. Cara berdakwahnya pun meniru pendekatan Sunan Kalijaga: sangat toleran pada budaya setempat. Cara penyampaiannya bahkan lebih halus. Itu sebabnya para wali –yang kesulitan mencari pendakwah ke Kudus yang mayoritas masyarakatnya pemeluk teguh-menunjuknya.

Cara Sunan Kudus mendekati masyarakat Kudus adalah dengan memanfaatkan simbol-simbol Hindu dan Budha. Hal itu terlihat dari arsitektur masjid Kudus. Bentuk menara, gerbang dan pancuran/padasan wudhu yang melambangkan delapan jalan Budha. Sebuah wujud kompromi yang dilakukan Sunan Kudus.

Suatu waktu, ia memancing masyarakat untuk pergi ke masjid mendengarkan tabligh-nya. Untuk itu, ia sengaja menambatkan sapinya yang diberi nama Kebo Gumarang di halaman masjid. Orang-orang Hindu yang mengagungkan sapi, menjadi simpati. Apalagi setelah mereka mendengar penjelasan Sunan Kudus tentang surat Al Baqarah yang berarti “sapi betina”. Sampai sekarang, sebagian masyarakat tradisional Kudus, masih menolak untuk menyembelih sapi.

Sunan Kudus juga menggubah cerita-cerita ketauhidan. Kisah tersebut disusunnya secara berseri, sehingga masyarakat tertarik untuk mengikuti kelanjutannya. Sebuah pendekatan yang tampaknya mengadopsi cerita 1001 malam dari masa kekhalifahan Abbasiyah. Dengan begitulah Sunan Kudus mengikat masyarakatnya.

Bukan hanya berdakwah seperti itu yang dilakukan Sunan Kudus. Sebagaimana ayahnya, ia juga pernah menjadi Panglima Perang Kesultanan Demak. Ia ikut bertempur saat Demak, di bawah kepemimpinan Sultan Prawata, bertempur melawan Adipati Jipang, Arya Penangsang.

9. Sunan Muria
Ia putra Dewi Saroh –adik kandung Sunan Giri sekaligus anak Syekh Maulana Ishak, dengan Sunan Kalijaga. Nama kecilnya adalah Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, 18 kilometer ke utara kota Kudus

Gaya berdakwahnya banyak mengambil cara ayahnya, Sunan Kalijaga. Namun berbeda dengan sang ayah, Sunan Muria lebih suka tinggal di daerah sangat terpencil dan jauh dari pusat kota untuk menyebarkan agama Islam.

Bergaul dengan rakyat jelata, sambil mengajarkan keterampilan-keterampilan bercocok tanam, berdagang dan melaut adalah kesukaannya.

Sunan Muria seringkali dijadikan pula sebagai penengah dalam konflik internal di Kesultanan Demak (1518-1530), Ia dikenal sebagai pribadi yang mampu memecahkan berbagai masalah betapapun rumitnya masalah itu. Solusi pemecahannya pun selalu dapat diterima oleh semua pihak yang berseteru. Sunan Muria berdakwah dari Jepara, Tayu, Juana hingga sekitar Kudus dan Pati. Salah satu hasil dakwahnya lewat seni adalah lagu Sinom dan Kinanti.

BABAD TANAH JAWA

 

Sebuah teori geologi kuno menyebutkan, proses terbentuknya daratan yang terjadi di Asia belahan selatan adalah akibat proses pergerakan anak benua India ke utara, yang bertabrakan dengan lempengan sebelah utara. Pergerakan lempeng bumi inilah yang kemudian melahirkan Gunung Himalaya.

Konon, proses tersebut terjadi pada 20-36 juta tahun yang silam. Anak benua yang di selatan sebagian terendam air laut, sehingga yang muncul di permukaan adalah gugusan-gugusan pulau yang merupakan mata rantai gunung berapi. Gugusan pulau-pulau di Asia Tenggara, yang sebagian adalah Nuswantoro (Nusantara), yang pada zaman dahulu disebut Sweta Dwipa. Dari bagian daratan ini salah satunya adalah gugusan anak benua yang disebut Jawata, yang satu potongan bagiannya adalah pulau Jawa.Jawata artinya gurunya orang Jawa. Wong dari kata Wahong, dan Tiyang dari kata Ti Hyang, yang berarti keturunan atau berasal dari Dewata. Konon karena itulah pulau Bali sampai kini masih dikenal sebagai pulau Dewata, karena juga merupakan potongan dari benua Sweta Dwipa atau Jawata.

Mengingat kalau dulunya anak benua India dan Sweta Dwipa atau Jawata itu satu daerah, maka tidak heran kalau ada budayanya yang hampir sama, atau mudah saling menerima pengaruh. Juga perkembagan agama di wilayah ini, khususnya Hindu dan Budha yang nyaris sama.


Versi mistis :
    Pulau terbesar dengan penduduknya paling banyak di seluruh Indonedia ini, tidak menyangka, kalau dahulunya adalah pulau terkecil dan terpecah-belah oleh persilangan laut antara utara dan selatan.

Kisah dipersatukannya seluruh pulau yang terdapat di berbagai pulau Jawa, akibat dari kesaktian yang dimiliki oleh Brahmana Agung bernama Shang Hyang Dewa. Konon dengan kesaktian beliau, pulau itu ditarik satu persatu menjadi pulau terbesar dan dinamakan Bumi Ing Jowo Dwipo.

Semasa pulau ini belum terjamaah oleh manusia, para siluman dari bangsa seleman dan togog telah lebih dulu menduduki hingga ribuan tahun lamanya. Masa itu pulau Jawa disebut dengan nama Mokso Seleman (zaman para lelembut).Namun setelah keturunan dari Shang Hyang Nurasa menduduki bumi Jawa (Shang Hyang Dewa) pulau itu disebut dengan nama bumi pengurip (bumi yang dihidupkan). Shang Hyang Dewa akhirnya moksa di puncak Gunung Tidar, setelah beliau menyatukan berbagai bangsa lelembut untuk menuju jalan Adil (kebenaran), dan dari keturunannya.

Terlahir pula para Shanghyang Agung, seperti Shanghyang Citra Suma, Shanghyang Dinata Dewa, Shanghyang Panca Dria, yang akhirnya dari merekalah sebuah titisan atau wasilah turun-temurun menjadi kerajaan teragung yang absolut.

Baru diabad ke 12, pulau Jawa diperluas dengan tiga aliran yang berbeda, yaitu dengan adanya ajaran Hindu, mokso Jawi dan Islam. Akhir dari ketiga aliran tersebut nantinya menjadi suatu perlambang dari perwatakan penduduk pulau Jawa hingga sekarang ini.

Dalam perluasan arti ketiga diatas, mencerminkan sebuah kehidupan bermasyarakat gemah ripah loh jinawi. Konon ajaran ini hanya ada dipulau Jawa dan seterusnya menyebar ke seluruh pelosok yang ada di Indonesia, seperti ajaran Hindu misalnya, ilmu yang diajarkan oleh para Shanghyang Dewa, ilmu, sebagai aji rasa manunggaling agung.

Lewat bait sansekerta Yunani yang mengupas di dalamnya, kebenaran, keadilan, kejujuran dan memahami sifat alam. Ilmu ini akhirnya diturunkan oleh bapaknya para dewa. Raden Nurasa kepada Nabiyullah Khidir a.s. dan dizaman Wali Songo nanti, ilmu ini dipegang dan menjadi lambang dari sifat kependudukan masyarakat Jawa oleh tiga tokoh Waliyullah, yaitu Sunan Kalijaga, Mbah Cakra Buana dan Khanjeng Syekh Siti Jenar.

Moksa jawi sendiri, sebuah ilmu yang mengupas tentang kedigdayaan ilmu yang bersumber dari raja lelembut, bernama raja lautan. Ini sangat berperan dan menjadi salah satu perwatakan masyarakat Jawa. Konon ajaran yang tergabung di dalamnya mengajarkan arti tirakat, mencegah hawa nafsu dan memahami makna rohani, simbol dari ajaran ilmu ini digambarkan sebagai bentuk keris.

Keris menjadi suatu perlambang dari ajaran orang Jawa, bermula dari seorang Empu, bernama Ki Supo Mandragini. Beliau salah satu santri dari Khanjeng Sunan Ampel Denta yang diberi tugas untuk membuat sebilah keris. Namun rupanya, pemahaman dari sang guru dan murid ini saling berseberangan, disisi lain Sunan Ampel menginginkan sebuah pusaka berupa sebilah pedang sebagai perlambang dari makna Islam. Namun ketidaktahuan Ki Supo Mandragini sendiri, akhirnya beliau membuat sebilah keris berluk 9.

Keris tersebut menjadi penengah antara ajaran Islam dan Hindu bagi orang Jawa, dengan sebutan Islam Kejawen, dan keris pembuatan Ki Supo diberi nama Kyai Sengkelat. Dari kedua aliaran diatas, Islam telah ada di pulau Jawa sejak abad ke 9. Ajaran ini dibawa dari kota Misri oleh seorang Waliyullah Kamil Syekh Sanusi dan muridnya Muhammaad Al Bakhry, dan baru masyhur tentang ajaran Islam di pulau Jawa pada abad 13 dan 14 atau zamannya para Wali Songo.

Pembedaran lain dari keunikan yang terdapat di pulau Jawa pada masa itu, 300 tahun sebelum Wali Songo mendudukinya, para Shanghyang maupun bangsa lelembut seleman telah mengetahui lewat sasmita gaib yang mereka terima, bahwa sebentar lagi pulau Jawa akan dibanjiri para pemimpin makhluk dari berbagai negara.

Mereka dari seluruh alam berkumpul, berdiskusi di puncak Gunung Ciremai, pada masa itu mereka mufakat untuk mengabdi dan membantu, apabila para Waliyullah telah menduduki pulau Jawa. Namun tentunya tidak semua dari mereka setuju, sehingga perpecahan dari dua kubu yang berseberang jalan itu dinamakan Getas Kinatas (terpecahnya satu keluarga atau satu keturunan).

Nanti pada akhirnya tiba, dari Shanghyang Rowis Renggo Jenggala, akan menurunkan beberapa keturunan Saktineng Paku Jawa (orang-orang sakti yang menjdi penguasa pulau Jawa) diantaranya:

- "Arya Bengah" yang menurunkan para putera Majapahit dan keturunannya sampai putera Mataram.

- "Ciung Wanara" yang menurunkan Lutung Kasarung hingga sampai ke silsilah Prabu Agung Galuh atau yang dikenal dengan nama Prabu Munding Wangi atau Prabu Siliwangi.

- "Nyi Mas Ratu Ayu Maharaja Sakti" menurunkan beberapa keturunan berbagai alam diantaranya "Ratu Palaga Inggris, seorang puteri cantik dari bangsa manusia, yang akhirnya dikawin oleh Prabu Siliwangi.

- "Kerta Jasa" maharaja sakti.

- "Sang Kowelan" salah satu anak dari Ratu Palaga Inggris yang berjenis bangsa lelembut, dari beliau pula ucuk umun dan Ratu Kidul dihasilkan.

- Dari "Syekh Sanusi" melahirkan ratusan Waliyullah kondang, diantaranya para Wali Irak, Yaman, Mesir, Turky, dan para Wali Jawa.

Untuk yang berseberangan atau getas kinatas, sebagian dari mereka memilih ngahyang (raib) dan tak pernah muncul lagi dipermukaan bumi dan sebagian lagi mereka mengabdi dengan lewat menjaga semua alam di pulau Jawa.

Diantara yang mengabdi adalah :

- Sih Pohaci, beliau menjaga awan dan langit.
- Sih Parjampi, beliau selalu menjaga bumi dan bertempat pada lapisan bumi nomor dua.
- Sang Sontog, menjaga semua gunung pulau jawa.
- Sang Waluhun, menjaga pantai utara dan selatan.
- Sih Walakat, menjaga seluruh hutan dan pepohonan.
- Sangkala Brahma, menjaga bumi Cirebon.
- Sangkala Wisesa, menjaga bumi Mataram.
- Janggala Putih, menjaga bumi Bogor.
- Sang Lenggang Lumenggang Gajah, menjaga bumi Jakarta.
- Sang Seda Hening, menjaga bumi Banten.

Dan pengguron atau perguruan para purwa, Wali Jawa, diantaranya;
Perguruan, penatas angin Pekalongan.
Perguruan, Agung Waliyullah Ki Bagus Santo Pekalongan.
Perguruan, Pandarang Semarang.
Perguruan, Jambu Karang Purwokerto.
Perguruan, Daon Lumbung Cilacap, dan lain-lain.
Begitulah sepenggal kisah Purwa Jawa.

Sumber : Misteri (Idris Nawawi)

FIlm Lawas

1. Arya Kamandanu


Arya kamandanu adalah pendekar ahli pedang yang sangat hebat di zaman kerajaan majapahit. Ia mempunyai pedang naga puspa yang didapatkan dari seorang perantau asal cina yang mati. Di kisah tutur tinular. Ia adalah tokoh kompleks, di satu sisi, ia berperan sebagai orang yang lembut dan jatuh cinta dengan mei shin, di satu sisi, ia harus berperan sebagai seorang pengembara, dan di sisi lain ia berperan sebagai tokoh pendekar yang harus berjuang membela kerajan majapahit dari serbuan pemberontakan nambi, sora, kuti, dan lain-lain
Film ini boleh dibilang film yang benar-benar mengangkat kisah kerajaan majapahit secara utuh dan panjang.

2. Wiro Sableng
Wiro sableng atau pendekar 212, adalah nama tokoh fiksi dalam seri buku yang ditulis oleh Bastian Tito Wiro terlahir dengan nama Wira Saksana yang sejak bayi telah digembleng oleh gurunya yang tekenal di dunia persilatan dengan namaSinto Weni atau sinto gendeng Wiro adalah seorang pendekar dengan senjata kapak Maut Naga Geni 212 dan memiliki rajah "212" di dadanya. Wiro memiliki banyak kesaktian yang diperoleh selama petualangannya di dunia persilatan, dari berbagai guru.






3. Si Buta dari gua Hantu
Nama asli si Buta adalah Barda Mandrawata, seorang tokoh tani di daerah banten yang ingin menuntut balas atas perbuatan si mata malaikat yang telah berbuat onar dan membunuh calon menantunya. Ian rajin bertapa di Gua hantu hingga ia menjadi sakti. di sinilah ia membutakan matanya dengan menyilangkan golok ke matanya, tapi kebutaanya justru menjadikanya lebih sakti. Perjalanan menutut balas barda selalu ditemani seekor kera mungil yang setia yang bernama kliwon




4. Sembara

 Sembara adalah tokoh jagoan yang utama dalam film kolosal misteri gunung merapi atau yang sering dikenal sebagai mak lampir. Ia digambarkan sebagai golongan aliran putih yang berusaha melawan aliran hitam yang di pimpin oleh nenek sihir mak lampir. Dalam kisah misteri gnung merapi, ia juga diceritakan melawan penjajahan belanda bersama para kyai







5. Angling Dharma


 Prabu Angling Dharma adalah seorang pendekar yang kemudian bisa menjadi raja malwapati setelah menang dalam pertarungan melawan batik madrim. Ia dikenal sakti mandraguna serta mempunyai ilmu yang membuatnya bisa berbicara dengan hewan. Ia juga mempunyai teman seekor naga yang selalu setia membantunya jika ia sedang dalam kesulitan






6. Jaka Tingkir
Pendekar sakti yang kelak menguasai kerajaan pajang ini memang sudah mempunyai kesaktian sejak kecil, Dari remaja ia sudah gemar bertapa. Dan salah satu cerita paling terkenal tentang kesaktianya adalah bagaimana ia bisa bertarung mengalahkan buaya sehingga bisa menundukkan buaya itu dan menjadikanya menjadi abdi.





7. Jaka Sembung

 Pada zaman penjajahan Belanda, Jaka Sembung alias Parmin (Barry Prima) merupakan jawara sakti Kandanghaur. Ia memberontak atas ketidakadilan Belanda yang mengharuskan para tawanan bekerja paksa. Untuk menumpas Jaka Sembung, Belanda mengadakan sayembara. Jawara sakti Kohar (S. Parya) kalah disusul Si Hitam (W.D Mochtar) memiliki ajian Rawarontek yang membuatnya tak bisa mati bila tubuhnya menyentuh tanah.


8. Prabu Siliwangi


Prabu Siliwangi adalah tokoh pendekar yang menjadi raja di kerajaan sunda dan padjajaran. Kisah Prabu siliwangi ini diangkat dari cerita legenda yang berdasarkan prasasti batutulis. film kolosal ini di siarkan di SCTV dengan judul Prahar Prabu Siliwangi



9. Damar Wulan
Damar Wulan adalah seorang tokoh legenda cerita rakyat Jawa Timur. Kisah yang pernah populer ditengah masyarakat Jawa Timur . Kisah ini bercerita tentang perseturuan antar sang jagoan yaitu damar wulah sendiri melawan Minak jinggo dalam memperebutkan wanita dan kerajaan







10. Satrio Madangkara (Brahma Kumbara)

Mungkin inilah jagoan yang paling dikenal oleh sebagian orang tua kita, karna acara Saur sepuh (acara yang menampilkan satrio madangkara) adalah salah satu dedengkot film kolosal indonesia), Film saur sepuh ini diadaptasi dari sandiwara radio yang pertama kali disiarkan pada tahun 1988. cerita pada zaman kerajaan padjajaran Kerajaan Pajajaran ini dilakoni oleh tokoh utama brahma kumbara sebagai raja yang sakti mandraguna lagi rupawan

Kisah Prabu Angkling Darma

 
Kelahiran Prabu Angling Dharma 
Saat sebelum Angling Dharma lahir, ada suatu kerajaan yang di kenal dengan Kerajaan Hastina. Kerajaan Hastina waktu itu di pimpin oleh Raja yang di kenal dengan Raja Parikesit. Sejak Parikesit memiliki sebagian orang putra, kehidupan di sekitar kerajaan mulai lebih buruk lantaran berlangsung persaingan perebutan tahta kerajaan. Raja Parikesit mewariskan tahtanya pada putranya Yudayana. Saat saat kepemimpinan Yudayana diawali, kerajaan nyaris alami kehancuran hingga Raja Yudayana hingga berani merubah nama kerajaannya jadi Kerajaan Yawasita. Pergantian nama kerajaan dikerjakan punya maksud supaya hari esok kerajaan yang di pimpin raja Yudayana makin lebih baik. Tetapi sebenarnya hari esok kerajaan Yawasita terus tak jaya. Hingga tahta Raja Yudayana dia berikanlah pada saudaranya Gendrayana yang dahulu pernah berkompetisi dengan Yudayana. 

Pada saat pemerintahan Raja baru Gendrayana, lingkungan kerajaan makin lebih baik serta mulai ada pergantian yang lebih sejahtera. Hal semacam itu dibuktikan dengan tak ada rakyat yang alami kelaparan serta kemiskinan. Tetapi, saat kepemimpinan Gendrayana tak terlampau lama lantaran dia menghukum adiknya sendiri yang bernama Sudarsana dengan basic kesalahpahaman pada ke-2 iris pihak. Mendengar berita itu, Batara Narada atau seseorang pendeta dari kahyangan yang bijaksana datang ke kerajaan Yawastita untuk mengadili Gendrayana. Juga sebagai hukumannya, gendrayana dibuang ke rimba oleh Batara Narada. Sedang adiknya Sudarsana jadikan juga sebagai pengganti Gendrayana. Gendrayana mengajak sebagian pengikut setianya untuk hidup bersamanya serta bikin kerajaan baru satu hari kelak. 

Didalam rimba, Gendrayana berjuang keras berbarengan pengikut-pengikutnya bikin suatu kerajaan yang bakal berdiri kokoh. Sesudah satu tahun lebih, pada akhirnya suatu kerajaan sukses berdiri atas perjuangan keras yang dikerjakan Gendrayana. Kerajaan itu dinamakan Kerajaan Mamenang oleh Gendrayana. Serta raja pertama yang menempati pada saat itu yaitu Gendrayana sendiri. Bahkan juga hingga Beberapa ratus th. kerajaan Mamenang sukses memakmurkan rakyatnya serta senantiasa unggul dalam persaingan dengan kerajaan Yawasita. Sesudah alami saat kejayaan, Gendrayana dikaruniai seseorang putra yang dinamakan Jayabaya. Gendrayana mewariskan tahtanya pada Jayabaya. Sedang Raja Sudarsana juga menyerahkan tahtanya pada putranya yakni Sariwahana. Kamudian Sariwahana mewariskan tahtanya pada putranya Astradama lantaran Sariwahana tak terlampau sukai jadi seseorang raja. Pada saat perubahan tahta, ke-2 kerajaan ini kerap ikut serta dalam perang saudara. Perang saudara ini hingga bertahan sampai beberapa puluh th. serta tetap harus tak selesai-selesai. 

Pada akhirnya ke-2 kerajaan ini damai atas pertolongan dari Hanoman yang sudah bertapa kian lebih beberapa ratus th.. Hanoman bertindak yang sukses wujudkan perdamaian pada kerajaan Yawastina dengan kerajaan Mamenang lewat cara perkawinan satu diantara anggota kerajaan. Yakni Astradarma dinikahkan dengan Pramesti, Putra Jayabaya.

Sesudah menikah, Pramesti punya mimpi bersua dengan Batara Wisnu. Batara Wisnu berkata bahwa dia bakal dilahirkan didunia lewat rahimnya sendiri. Karenanya ada peristiwa mimpi itu, mendadak perut Pramesti membuncit serta di dalam rahimnya ada jabang bayi. Sontak Astradarma menuduh Pramesti selingkuh dengan orang lain. Hingga Astradarma mengsusir istrinya untuk pulang kembali pada negerinya. Waktu Jayabaya menjumpai putrinya jalan menuju ke istananya dengan situasi hamil serta lemas, Jayabaya sangatlah murka pada Raja Astradarma. Lalu Jayabaya mengutuk kerajaan Yawastina terbenam oleh banjir bandang yang besar. Tidak lama kutukan itu juga berlangsung serta menerpa kerajaan Yawastina. Pada akhirnya Raja Astradarma dengan semua rakyatnya terhempas serta menghilang berbarengan istananya lantaran banjir yang menempa kerajaannya. Begitulah selesainya kerajaan Yawastina. 

Sesudah robohnya kerajaan Yawastina, Pramesti melahirkan seseorang putra yang di beri Angling Dharma. Angling Dharma adalah bayi titisan Dewa Wisnu yang mempunyai kekuatan-kekuatan yang luar umum. Angling Dharma dilahirkan berbarengan dengan kematian kakeknya Jayabaya. Sesudah wafatnya Jayabaya, tahta kerajaan Mamenang lalu diserahkan pada Jaya Amijaya (Saudara Pramesti). 

Perjalanan Hidup Prabu Angling Dharma 
Pada saat kecil hingga remaja Angling Dharma kerap sekali menolong sesama rekannya. Dia senantiasa meberantas kejahatan walau umur Angling Dharma masih tetap sangatlah muda. Sangat banyak perampok-perampok yang sukses dia kalahkan. Hingga dia sangatlah disegani oleh banyak orang-orang yang sudah dibantunya. Ketika masuk umur remaja, Angling Dharma mulai melatih serta mengasah kemampuannya dalam dunia persilatan serta kemampuan dalam. Dengan dibekali ketrampilan mulai sejak kecil, Angling Dharma sangatlah gampang pelajari beragam jenis jurus yang di ajarkan oleh gurunya, yakni Begawan Maniksutra. Dia juga di ajarkan gurunya untuk berburu yang baik serta tak mengakibatkan kerusakan alam. Cuma berburu kurun waktu 30 menit, Angling Dharma sukses melumpuhkan seekor singa yang besar. 

Angling Dharma kerap sekali membunuh hewan sesudah dia dapat berburu. Dalam satu hari, Angling Dharma senantiasa membantai 3 ekor singa. Tahu hal itu, guru memarahi Angling Dharma hingga Angling Dharma tidak ingin berlatih dengan gurunya sendiri. Sepanjang kian lebih 2 th., Begawan Maniksutra sukses kuasai beragam jenis pengetahuan tenaga dalam serta jurus-jurus yang sangatlah hebat. Satu hari Begawan memergoki Angling Dharma tengah berburu serta membawa 2 ekor singa yang diikat tali oleh Angling Dharma. Begawan Maniksutra segera menghambat langkah kaki Angling Dharma yang penuh dengan keringat. 

" Dharma! berhenti di situ! " teriak Begawan Maniksutra. 
" Tengah apa anda disini? Menyingkirlah anda dari jalanku, " kata Angling Dharma. 
" Basic anak kurang ajar! bebaskan ke-2 singa itu. Atau anda... " 
" Saya apa? Saya tak takut denganmu walaupun saya pernah berguru kepadamu, " Angling Dharma memotong perbincangan Begawan. 
" Memanglah makin besar anda makin kurang ajar. Rasakan i... " mendadak dipotong Angling Dharma. 
" Rasakan apa? Saya tak takut meskipun engkau hebat. " Angling Dharma tertawa sembari lihat jurus yang dikerjakan oleh Begawan Maniksutra. 
" Mana ilmumu wahai guru? " Angling Dharma ajukan pertanyaan. 
" Saksikan seputarmu, " kata Begawan. Angling Dharma terperanjat lihat tali yang diikatkan ke leher singa mendadak menghilang. Sontak Angling Dharma segera lari menghindar dari kejaran dua ekor singa yang sudah diburunya. Sesudah jauh lari, pada akhirnya Angling Dharma sukses lolos dari kejaran singa. Mendadak Begawan Maniksutra ada di depan Angling Dharma. Angling Dharma segera meminta pada Begawan Maniksutra untuk terima dianya kembali juga sebagai muridnya. Sepanjang Angling Dharma jadi murid Begawan Maniksutra, dia di ajarkan ilmu-ilmu yang dipunyai Begawan Maniksutra supaya dapat melanjutkan pengetahuan untuk beberapa pemuda-pemuda yang berjuang menjaga negeri.

Pada akhirnya Angling Dharma sukses kuasai semua pengetahuan serta jurus-jurus yang di ajarkan oleh Begawan Maniksutra. Lalu dengan tekat serta keberanian Angling Dharma, dia mau bangun suatu negeri baru lantaran tahu histori negeri kakeknya yang dahulu kerap berselisih dengan kerajaan lain. Angling Dharma mau menciptrakan suatu negeri yang damai serta makmur untuk rakyatnya. 

Sesudah Angling Dharma masuk saat dewasa, Angling Dharma punya niat membawa ibunya geser ke negeri yang sudah dibangunnya sendiri. Negeri itu dinamakan Malawapati. Disana, Angling Dharma memimpin negerinya sendiri serta mengatur negerinya sendiri dengan berikan gelar Prabu Angling Dharma atau Prabu Ajidharma oleh dianya. Sesudah kerajaan Yawastina tahu kemakmuran yang berlangsung pada kerajaan Malawapati, Jaya Amijaya juga sebagai raja Yawastina memberi seperempat kekuasaannya pada Angling Dharma untuk punya maksud memakmurkan rakyat barunya. 

Meskipun dia juga sebagai raja, dia terus tidak ingin meninggalkan kesukaannya untuk berburu. Angling Dharma suka sekali berburu saat malam hari lantaran saat malam hari hewan-hewan sangatlah gampang untuk diburu. Ketika dia berburu, ia temukan seseorang gadis yang bersembunyi dari kejaran harimau. Lantas lalu dia membawa gadis itu menuju ke tempat yang aman dari jangkauan harimau. Sepanjang perjalanan mereka sama-sama berteman serta sama-sama bercerita kegemaran mereka. Gadis itu nyatanya bernama Setyawati yang ayahnya adalah seseorang pertapa sakti bernama Resi Maniksutra. Angling Dharma lalu mengantarkannya pulang ke rumah. lantaran Angling Dharma terasa jatuh cinta pada Setyawati dalam pandangan pertaa, Angling Dharma punya niat untuk jadikan Setyawati juga sebagai pendamping hidupnya. 

Serta pada akhirnya Angling Dharma juga melamar Setyawati juga sebagai istrinya. Tetapi ada sedikit masalah waktu bakal memperoleh Setyawati. Kakak Setyawati yang bernama Batikmadrim sudah bersumpah bahwa barangsiapa yang mau menikah dengan adiknya mesti bisa menaklukkannya. Tahu sumpah itu, Angling Dharma membulatkan tekad untuk melawan Batikmadrim untuk memperoleh Setyawati. Jadi terjadi kompetisi pada kakak Setyawati dengan Angling Dharma yang dimenangkan oleh Angling Dharma. Kemudian, Setyawati jadi permaisuri Angling Dharma serta sedang Batikmadrim diangkat juga sebagai patih di Kerajaan Malawapati. 

Di lain hari, Angling Dharma memergoki istri Nagaraja yang bernama Nagagini tengah berselingkuh dengan seekor ular tampar (Nagaraja adalah seseorang guru yang tinggal di kerajaan Yawastina). Hal semacam itu di ketahui Angling Dharma waktu Angling Dharma tengah berburu saat malam hari. Angling Dharma juga membunuh ular jantan itu untuk kebaikan. Sedang Nagagini pulang dalam situasi terluka. Nagagini lalu membuat suatu laporan palsu pada suaminya agar membalas dendam pada Angling Dharma yang sudah membunuh rekannya. Nagaraja juga menyusup ke istana Malawapati. Tetapi waktu menyusup ke istana, Nagaraja melihat Angling Dharma tengah mengulas perselingkuhan Nagagini pada Setyawati. Nagaraja juga sadar bahwa istrinya yang salah. Nagaraja juga nampak serta mohon maaf pada Angling Dharma lantaran dia nyaris saja membunuh Angling Dharma. 

Ketika itu juga Nagaraja mengaku bahwa dianya bakal wafat lantaran dia sudah masuk saat moksa (Moksa yaitu saat di mana arwah seorang bakal pergi dari raganya serta bereinkarnasi menuju ke manusia yang bakal dilahirkan). Lalu Nagaraja mewariskan pengetahuan kesaktiannya berbentuk Aji Gineng pada Angling Dharma. Pengetahuan itu mesti dijaga dengan baik serta penuh rahasia. Sesudah mewariskan pengetahuan itu, Nagaraja juga wafat. Jenazah Nagaraja lalu dibawa ke rumah istrinya oleh Angling Dharma serta Angling Dharma menuturkan pada Nagagini apa yang sesungguhnya berlangsung saat sebelum suaminya wafat. 

Sejak Angling Dharma mewarisi pengetahuan baru dari Nagaraja, dia bisa tahu bhs binatang. Pernah ia tertawa melihat pembicaraan sepasang cicak. Hal semacam itu bikin Setyawati tersinggung lantaran dianya tak pernah di perhatikan oleh suaminya sejak dia memlihara banyak hewan dari hasil perburuannya. Angling Dharma menampik berterus jelas lantaran terlanjur berjanji bakal merahasiakan Aji Gineng. Hal semacam itu bikin Setyawati jadi tambah geram. Setyawati juga pilih bunuh diri dalam api lantaran terasa dianya tak dihargai lagi oleh Angling Dharma. Angling Dharma berjanji tambah baik temani Setyawati mati, dari pada mesti mengungkapkan rahasia ilmunya. Saat upacara pembakaran diri di gelar, Angling Dharma pernah mendengar pembicaraan sepasang kambing. Dari pembicaraan itu Angling Dharma sadar bila keputusannya temani Setyawati mati yaitu ketentuan yg tidak pas serta dapat merugikan rakyat banyak. 

Sesudah kematian istrinya yang tragis, Angling Dharma melakukan hukuman buang untuk sekian waktu juga sebagai penebus dosa. Hukuman itu meruupakan keinginan dari rakyatnya sendiri. Lantaran Angling Dharma sudah memungkiri janji setia sehidup semati dengan istrinya sendiri. Meskipun Angling Dharma dihukum, dia terus tak lengser dari kursi rajanya. Lalu Angling Dharma menitipkan istananya pada Batikmadrim sepanjang dia melakukan hukuman. 

Dalam perjalanan, Angling Dharma bersua tiga orang putri yang bernama Widata, Widati, serta Widaningsih. Ketiganya jatuh cinta pada Angling Dharma serta menahannya tidak untuk pergi meninggalkan mereka. Sepanjang mereka sama-sama mengetahui, Angling Dharma meminta tolong pada tiga putri itu untuk memberi suatu rumah untuk dia. Pada akhirnya ketiga orang putri itu memberi rumah untuk Angling Dharma. Tetapi sejak tinggal berbarengan dengan tiga orang putri, Angling Dharma terasa ada yang ganjil waktu putri-putri kerap keluar saat malam hari. Lalu Angling Dharma menyamar juga sebagai sosok burung gagak untuk menyelidiki aktivitas rahasia ketiga putri itu. Nyatanya tiap-tiap malam mereka senantiasa berpesta makan daging manusia. Pada akhirnya keraguan Angling Dharma telah dapat dibuktikan. Tiga orang putri tadi adalah penyihir yang sukai memangsa manusia juga sebagai makanannya. 

Waktu Angling Dharma ketahuan tengah mengintip aktivitas mereka yang tengah makan daging manusia, Angling Dharma juga berselisih dengan mereka. Tetapi kemampuan Angling Dharma masih tetap bisa ditaklukkan oleh 3 orang penyihir. Pada akhirnya ketiga putri tadi mengutuk Angling Dharma jadi seekor belibis putih. Belibis putih itu terbang hingga ke lokasi Kerajaan Bojanagara. Disana, ia dipelihara seseorang pemuda desa bernama Jaka Geduk. Jaka Gduk terperanjat waktu dia tahu belibis putih dapat berbucara kepadanya. 

Ketika itu, Darmawangsa yang juga sebagai raja Bojanagara tengah bingung hadapi pengadilan yang dimana kasusnya adalah seseorang wanita bernama Bermani memiliki dua orang suami yang berwujud sama serta bernama sama, yakni Bermana. Lalu pemuda desa tadi datang sembari membawa belibis putih untuk menolong raja dalam mengadili Bermani. Atas panduan belibis putih, Jaka Geduk sukses membongkar Bermana palsu kembali pada bentuk aslinya, yakni Jin Wiratsangka. Atas kesuksesannya itu, Jaka Geduk diangkat juga sebagai hakim negara, sedang belibis putih disuruh juga sebagai peliharaan putri raja Bojanagara yang bernama Ambarwati.

Kesuksesan Prabu Angling Dharma 
Meskipun Angling Dharma sudah berwujud belibis putih, dia sesungguhnya dapat beralih ke bentuk manusia saat malam hari saja. Tetapi Angling Dharma merahasiakan keunggulannya itu pada siapa saja terkecuali Ambarawati. Tiap-tiap malam ia menjumpai Ambarawati dalam bentuk manusia hingga mereka berdua sama-sama jatuh cinta. Mereka pada akhirnya menikah tanpa ada sepengetahuan orangtua Ambarawati. Dari perkawinan itu Ambarawati juga memiliki kandungan. 

Darmawangsa heran serta bingung merasakan putrinya memiliki kandungan tanpa ada suami. Kebetulan waktu dalam tiap-tiap kebingungan raja senantiasa ada jalan keluar karenanya ada orang ketiga. munculah seseorang pertapa sakti yang bernama Resi Yogiswara mengakui siap temukan bapak dari janin yang dikandung Ambarawati. Yogiswara lalu mencari pelakunya. Resi mencurigai karenanya ada seekor belibis putih yang mempunyai suatu kalung yang sama dengan kalung Angling Dharma. Lalu Resi Yogiswara menyerang belibis putih peliharaan Ambarawati. Sesudah lewat pertarungan yang sengit, belibis putih kembali pada bentuk awal mulanya yakni Angling Dharma, sedang Yogiswara beralih jadi Batikmadrim. Kehadiran Batikmadrim yang sesungguhnya yaitu untuk menjemput Angling Dharma yang telah habis saat hukumannya. 

Raja Darmawangsa malah terima perlakuan Angling Dharma pada putrinya serta merestui jalinan mereka. Hingga raja Darmawangsa lakukan acara pernikahan besar untuk menyongsong Angling Dharma. Angling Dharma lalu membawa Ambarawati geser ke Malawapati. Dari perkawinan mereka, pada akhirnya lahir seseorang putra yang bernama Anglingkusuma. Angling Kusuma bakal jadi penerus raja di kerajaan Bojanagara serta menukar kakeknya itu. Tetapi, sepanjang Angling Kusuma jadi raja, dia memiliki musuh bernama Durgandini serta Sudawirat yang mau menjatuhkan kerajaan Bojanagara. 

Sesudah kembalinya Angling Dharma ke Malawapati, kerajaan Angling Dharma berjaya serta dapat membantuk putranya dalam memerangi musuh-musuhnya serta pada akhirnya mereka sukses menaklukan musuh-musuhnya. Serta waktu tersebut sudawirat terbuka hatinya untuk mengabdi pada Kerajaan yang di pimpin oleh Prabu Angling Dharma. Serta sedang Durgandini bersedia mengabdi pada kerajaan Bojanagara.