Selain sebagai negara maritim karena lautan lebih luas dari daratannya, penduduk Indonesia
ini telah lama juga dikenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian
penduduknya adalah juga para petani. Tanah nusantara dengan iklim
tropisnya merupakan anugerah Sang Kuasa yang patut disyukuri, salah satu
caranya adalah dengana cara memanfaatkannya bagi kesejahteraan umat.
Pekerjaan bercocoktanam sejatinya telah lama dilakukan penduduk Nusantara,
yaitu selepas peradaban ini mulai tertata dan tak berpindah-pindah
tempat laiknya zaman batu. Bercocok tanam pada masa kejayaan Islam
dengan “walisanga” acap diwarnai dengan pemahaman yang tak sekedar pada
kegiatan saja, akan tetapi juga disertai ajaran-ajaran agar kita
mengembalikan jatidiri pada sang penguasa hidup. Analogi dan filosofi
sering dilambangkan pada segala kegiatan, salah satunya adalah ajaran
filosofi yang dipandu oleh Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela
mengenai alat pertanian berujud “cangkul” alias “pacul.”
Siapa itu Sunan Kalijaga?
Kalijaga atau ada yang menuliskanyannya
“Kalijogo” diperkirakan memiliki usia mencapai lebih dari 100 tahun,
yang lahir pada khir kekuasaan Majapahit, sekitar tahun 1478 karena
beliau diperkirakan lahir dari darah adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta
(Raden Sahur) pada 1450 Masehi dengan nama Raden Sahid yang juga
dikenal sebagai Raden Mas Said.
Sunan Kalijaga diperkirakan juga
mengalami masa kejayaan beberapa kerajaan Nusantara, antara lain
Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang, serta
awal kelahiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.
Hal itu diperkuat dengan bukti adanya pembangunan Masjid Agung Cirebon
dan juga Masjid Agung Demak yang salah satu prakarsanya adalah juga
Sunan Kalijogo, kreasi terkenalnya adalah tiang “tatal” di Masjid
Demak. Yaitu tiang penyangga yang terbuat dari pecahan kayu sebagai
salah satu tiang utama masjid.
-
Asal nama Kalijaga
Selain Raden Sahid, sejatinya ada banyak
nama yang disandang oleh Sunan Kalijaga, diantaranya adalah Lokajaya,
Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Sementara nama
“Kalijaga” sendiri menurut cerita salah satu versi masyarakat Cirebon,
berasal dari Desa Kalijaga yang berlokasi di wilayah Cirebon, tepatnya
tatkala Raden Sahid bertempat-tinggal di sana, maka beliau acap
melakukan ritual berendam di sungai (kali), lalu muncullah nama “jaga
kali” yang artinya menjaga sungai. Namun versi lain menceritakan
bahwa nama Kalijaga disandang, pasalnya Raden Mas Said telah
melaksanakan perintah SUnan Bonang yaitu menjaga tongkat yang
ditancapkan di salah satu sisi sungai selama lebih dari tiga tahun. Ini
menjadi bagian dari ritual yang diperintahkan Sunan Bonang sebab Raden
Mas Said berkehendak menjadi anak-muridnya.
-
Silsilah Kalijaga
Ada simpang siur mengenai silsilah
Kalijaga, sebab beberapa pendapat memaparkan bahwa Kalijaga masih
merupakan keturunan Arab, namun dilihat dari tradisi dan selukbeluknya,
tak sedikit yang yaqin bahwa beliau adalah orang Jawatulen. Bahkan
ketika Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah
keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah, banyak orang
tetap lebih merunut pada tulisan yang tertera pada Babad Tuban, yaitu
yang menyatakan bahwa Aria Teja alias ‘Abdul Rahman berhasil
mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari
perkawinan inilah lahir seorang anak dengan nama Aria Wilatikta.
Tome Pires, yaitu orang Portugal yang meninggal di Tiongkok terkenal sebagai penulis dengan karya terbesarnya, Suma Oriental (Dunia Timur),
juga menyatakan bahwa penguasa Tuban tahun 1500 M adalah cucu dari
peguasa Islam pertama di Tuban, sedangkan Sunan Kalijaga atau Raden Mas
Said adalah putra Aria Wilatikta. Lain dari itu, sejarawan De Graaf
membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan
Ibnu Abbas, yaitu paman Muhammad.
Selanjutnya dalam satu riwayat
dipaparkan bahwa Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana
Ishak, yang kemudian mempunyai 3 keturunan, yaitu Raden Umar Said yang
dikenal pula dengan nama Sunan Muria, Dewi Rakayuh, dan putri ketiganya
adalah Dewi Sofiah.
-
Dakwah Sunan Kalijogo
Selepas berguru kepada Sunan Bonang,
nama Kalijaga disematkan pada Raden Sahid yang kemudian menjadi salah
satu bagian walisanga di tanah Jawa dengan tugas dakwah menyebarkan
ajaran-ajaran agama. Serupa dengan mentornya, Sunan Bonang, dalam dakwah
Sunan Kalijogo cenderung ‘sufistik berbasis salaf’ -bukan sufi panteistik (pemujaan semata). Selain itu, dalam dakwah beliau juga teteap memilih kesenian dan mempertahankan kebudayaan sebagai sarananya,
sehingga Sunan Kalijaga bisa lebih gampang mengadakan pendekatan.
Toleran pada budaya lokal menjadi kunci dalam dakwahnya,salah satunya
adalah ajaran dengan memanfaatkan seni ukir, seni wayang, karawitan, dan
pedalangan, tak ketinggalan seni suara suluk.
Beberapa lagu suluk yang populer
berjudul Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul menjadi bukti kepopuleran
penyebaran ajaran kebaikan dari Sunan Kalijaga terhadap masyarakat.
Selain itu tradisi perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon
carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu adalah ide kreasinya.
Sedanhkan mengenai ilmu tata ruang, lanskap pusat kota berujud kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula adalah konsep
hasil pemikiran dari Sunan Kalijaga.
Sebelum wafat dan dimakamkan di Desa
Kadilangu, Demak, Sunan Kalijaga acapkali juga memberikan wejangan
terhadap orang-orang dekatnya, termasuk Ki Ageng Selo.
Siapa itu Ki Ageng selo?
Kyai Ageng Sela disebut juga sebagai Ki Ageng Ngabdurahman, yaitu seorang tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram Islam.
Beliau merupakan guru Sultan Adiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang, yang
juga kakek dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta.
Ki Ageng Selo yang bernama asli Bagus Sogom dan juga
merupakan keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit ini
banyak diceritakan dalam babad tanah Jawa sebagai kisah-kisah legenda.
Alkisah Brawijaya memiliki keturunan
Bondan Kejawan yang tak diakui sebagai anak, dan selanjutnya Bondan
Kejawen ini berputra Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa inilah yang
memiliki keturunan berjuluk Ki Ageng Sela, dimana Ki Ageng Sela sendiri
kemudian juga memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bernama Ki
Ageng Ngenis atau acap dipanggil Ki Ageng Enis. Dari Ki Ageng Ngenis
inilah terlahir Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian menjadi penguasa
pertama Mataram.
-
Silsilah Ki Ageng Selo ( Bagus Sunggam)
Dari Babad Jawa versi Mangkunegaran berikut adalah nama anak Ki Ageng Sela;
- Nyai Ageng Lurung Tengah
- Nyai Ageng Saba
- Nyai Ageng Basri
- Nyai Ageng Jati
- Nyai Ageng Patanen
- Nyai Ageng Pakis Dadu
- Ki Ageng Enis
-
Ki Ageng Sela Adalah Perintis Kesultanan Mataram Islam
Tokoh-tokoh perintis kerajaan Mataram
Islam tak lain adalah keturunan Raden Bondan Kejawan yang juga merupakan
putra Bhre Kertabhumi, raja terakhir kerajaan Majapahit.
Tokoh-tokoh itu adalah Ki Ageng
Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi yang juga dikenal dengan “Tiga
Serangkai Mataram.” Mereka mendapatkan dukungan dari tokoh lain
seperti Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo,
Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki
Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki
Ageng Enis dan tokoh lain yang masih satu garis keturunanan.
-
Legenda Ki Ageng Sela
Sesuai yang tersurat dalam naskah-naskah
babad, kisah hidup Ki Ageng Sela yang bersifat legenda pada umumnya
tetap dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.
Ki Ageng Sela yang tercatat sempat
mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak, dan beliau merupakan
prajurit pinilih sebab mampu menakhlukkan seekor banteng. Hanya saja
karena tak tega saat harus berlumuran darah, maka Sultan Demak
menolaknya masuk ketentaraan. Hal itu membuat Ki Ageng Sela
menyingkir dari keramaian, nenepi alias menyepi di desa Sela
yang kemudian berprofesi sebagai petani dan sekaligus guru spiritual.
Karenanya Ki Ageng Sela sempat pula menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri
Kesultanan Pajang.
Dari mendidik Jaka Tingkir inilah Ki
Ageng Selo kemudian mempersatukan Jaka Tingkir dengan tiga cucunya,
yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi, yang juga
menjadi pelopor berdirinya Mataram.
Jika orang-orang tua dahulu, tatkala ada petir sering mengucapkan “Gandrik putune Ki Ageng Selo,‘
bisa jadi itu adalah bagian dari cerita legendanya. Karena pada satu
catatan, Ki Ageng Sela pernah dikisahkan mampu menangkap petir tatkala
sedang bercocoktanam. Dengan “ilmu linuwih” (kelebihan ilmu) maka
kemudian petir tersebut berubah menjadi seorang kakek tua yang
dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak, hanya saja kakek
tua tersebut selanjutnya berhasil kabur dari penjara.
Demi mengenang kesaktian Ki Ageng Sela,
pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu
petir). Hiasan ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang yang
memiliki gigi runcing diniatkan sebagai simbol petir hasil tangkapan Ki
Ageng.
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal-usul
pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak, dimana tatkala hendak
maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak.
Apabila bnyaring buninya itu menjadi pertanda bahwa pihak Mataram akan
menang, namun sebaliknya jika tidak berbunyi pertanda musuh yang akan
menang. Ki Ageng Sela juga meninggalkan warisan berupa ajaran
moral yang dianut keturunannya di Mataram yang berisi larangan-larangan
demi mendapatkan keselamatan, yang selanjutnya dikenal dengan syair
macapat berjudul “Pepali Ki Ageng Sela.”
Wejangan Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Selo
Sebagai orang yang pernah dekat dengan
Sunan Kalijaga, meskipun pekerjaannya hanya bertani, Ki Ageng Sela juga
seringkali memperoleh wejangan, nasehat, pun pesan dari Sunan Kalijogo
yang acapkali dikaitkan dengan pekerjaannya. Segala perilaku hidup
dianalogikan dan kemudian dikupas makna filosofinya, termasuk juga alat
untuk bertani berujud cangkul.
Bahwa Pacul terdiri dari 3 bagian, yang pertama adalah plat besi dinamakan sebagai Pacul itu sendiri. Yang kedua adalah bawak, yang merupakan bagian melingkar pada pacul dan dimasukkan doran. Sedangkan yang ketiga adalah doran, yaitu gagang dari cangkul.
- PACUL
Dari kata “ngipatake barang kang muncul lan mendugul” kita bisa mengambil makna makna tentang membuang bagian yang tidak rata. Bahwa sifat memperbaiki ada pada kondisi ini. Sadar sebagai manusia yang tak rata adalah sadar sebagai manusia yang terdapat banyak dosa, oleh karenanya kita harus selalu berbuat baik yaitu dengan cara membuang hal-hal yang ‘mendugul’ berujud dosa tadi. - BAWAK
Adalah obahing awak alias gerakan tubuh. Ini memiliki makna filosofi bahwa sudah semestinya sebagai orang hidup harus tetap bergerak supaya memperoleh kesehatan ragawi. Lain dari itu adalah satu keniscayaan badan ini tetap bergerak untuk bekerja agar segala kegiatan duniawi ini mampu tercukupi. - DORAN
Bisa di definisikan sebagai “Donga Marang Pangeran” yaitu Berdoa terhadap Tuhan. Mengondisikan kita sebagai umat sudah sepantasnya meminta pertolongan kepada Tuhan, berdo’a adalah salah satu medianya.