Rabu, 25 Januari 2017

Filosofi Pacul

Selain sebagai negara maritim karena  lautan lebih luas dari daratannya, penduduk Indonesia ini telah lama juga dikenal sebagai masyarakat agraris karena sebagian penduduknya adalah juga para petani.    Tanah nusantara dengan iklim tropisnya merupakan anugerah Sang Kuasa yang patut disyukuri, salah satu caranya adalah dengana cara memanfaatkannya bagi kesejahteraan umat.
Pekerjaan bercocoktanam sejatinya telah lama dilakukan penduduk Nusantara, yaitu selepas peradaban ini mulai tertata dan tak berpindah-pindah tempat laiknya zaman batu.       Bercocok tanam pada masa kejayaan Islam dengan “walisanga” acap diwarnai dengan pemahaman yang tak sekedar pada kegiatan saja, akan tetapi juga disertai ajaran-ajaran agar kita mengembalikan jatidiri pada sang penguasa hidup. Analogi dan filosofi sering dilambangkan pada segala kegiatan, salah satunya adalah ajaran filosofi yang dipandu oleh Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Sela mengenai alat pertanian berujud “cangkul” alias “pacul.”

Siapa itu Sunan Kalijaga?

Kalijaga atau ada yang menuliskanyannya “Kalijogo” diperkirakan memiliki usia mencapai lebih dari 100 tahun, yang lahir pada khir kekuasaan Majapahit, sekitar tahun 1478 karena beliau diperkirakan lahir dari darah adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta (Raden Sahur) pada 1450 Masehi dengan nama Raden Sahid yang juga dikenal sebagai Raden Mas Said.
Sunan Kalijaga diperkirakan juga mengalami masa kejayaan beberapa kerajaan Nusantara, antara lain Kesultanan Demak, Kesultanan Cirebon dan Banten, Kerajaan Pajang, serta awal kelahiran Kerajaan Mataram dibawah pimpinan Panembahan Senopati.   Hal itu diperkuat dengan bukti adanya pembangunan Masjid Agung Cirebon dan juga Masjid Agung Demak yang salah satu prakarsanya adalah juga Sunan Kalijogo, kreasi terkenalnya adalah tiang “tatal”  di Masjid Demak. Yaitu tiang penyangga yang terbuat dari pecahan kayu sebagai salah satu tiang utama masjid.
  • Asal nama Kalijaga

Selain Raden Sahid, sejatinya ada banyak nama yang disandang oleh Sunan Kalijaga, diantaranya adalah Lokajaya,  Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman.  Sementara nama “Kalijaga” sendiri menurut cerita salah satu versi masyarakat Cirebon, berasal dari Desa Kalijaga yang berlokasi di wilayah Cirebon, tepatnya tatkala Raden Sahid bertempat-tinggal di sana, maka beliau acap melakukan ritual berendam di sungai (kali), lalu muncullah nama “jaga kali” yang artinya menjaga sungai.    Namun versi lain menceritakan bahwa nama Kalijaga disandang, pasalnya Raden Mas Said telah melaksanakan perintah SUnan Bonang yaitu menjaga tongkat yang ditancapkan di salah satu sisi sungai selama lebih dari tiga tahun. Ini menjadi bagian dari ritual yang diperintahkan Sunan Bonang sebab Raden Mas Said berkehendak menjadi anak-muridnya.
  • Silsilah Kalijaga

Ada simpang siur mengenai silsilah Kalijaga, sebab beberapa pendapat memaparkan bahwa Kalijaga masih merupakan keturunan Arab, namun dilihat dari tradisi dan selukbeluknya, tak sedikit yang yaqin bahwa beliau adalah orang Jawatulen.     Bahkan ketika Van Den Berg menyatakan bahwa Sunan Kalijaga adalah keturunan Arab yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah,  banyak orang tetap lebih merunut pada tulisan yang tertera pada Babad Tuban, yaitu yang menyatakan bahwa Aria Teja alias ‘Abdul Rahman berhasil mengislamkan Adipati Tuban, Aria Dikara, dan mengawini putrinya. Dari perkawinan inilah lahir seorang anak dengan nama Aria Wilatikta.
Tome Pires, yaitu orang Portugal yang meninggal di Tiongkok terkenal sebagai penulis dengan karya terbesarnya, Suma Oriental (Dunia Timur), juga menyatakan bahwa penguasa Tuban tahun 1500 M adalah cucu dari peguasa Islam pertama di Tuban, sedangkan Sunan Kalijaga atau Raden Mas Said adalah putra Aria Wilatikta.     Lain dari itu, sejarawan De Graaf membenarkan bahwa Aria Teja I (Abdul Rahman) memiliki silsilah dengan Ibnu Abbas, yaitu paman Muhammad.
Selanjutnya dalam satu riwayat dipaparkan bahwa Sunan Kalijaga menikah dengan Dewi Saroh binti Maulana Ishak, yang kemudian mempunyai 3 keturunan, yaitu Raden Umar Said yang dikenal pula dengan nama Sunan Muria, Dewi Rakayuh, dan putri ketiganya adalah Dewi Sofiah.
  • Dakwah Sunan Kalijogo

Selepas berguru kepada Sunan Bonang, nama Kalijaga disematkan pada Raden Sahid yang kemudian menjadi salah satu bagian walisanga di tanah Jawa dengan tugas dakwah menyebarkan ajaran-ajaran agama. Serupa dengan mentornya, Sunan Bonang, dalam dakwah Sunan Kalijogo cenderung ‘sufistik berbasis salaf’  -bukan sufi panteistik (pemujaan semata).   Selain itu, dalam dakwah beliau juga teteap memilih kesenian dan mempertahankan kebudayaan sebagai sarananya, sehingga Sunan Kalijaga bisa lebih gampang mengadakan pendekatan. Toleran pada budaya lokal menjadi kunci dalam dakwahnya,salah satunya adalah ajaran dengan memanfaatkan seni ukir, seni wayang, karawitan, dan pedalangan, tak ketinggalan seni suara suluk.
Beberapa lagu suluk yang populer berjudul Ilir-ilir dan Gundul-gundul Pacul menjadi bukti kepopuleran penyebaran ajaran kebaikan dari Sunan Kalijaga terhadap masyarakat.   Selain itu tradisi perayaan sekatenan, garebeg maulud, serta lakon carangan Layang Kalimasada dan Petruk Dadi Ratu adalah ide kreasinya. Sedanhkan mengenai ilmu tata ruang, lanskap pusat kota berujud kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini pula adalah konsep hasil pemikiran dari Sunan Kalijaga.
Sebelum wafat dan dimakamkan di Desa Kadilangu, Demak, Sunan Kalijaga acapkali juga memberikan wejangan terhadap orang-orang dekatnya, termasuk Ki Ageng Selo.

Siapa itu Ki Ageng selo?

Kyai Ageng Sela disebut juga sebagai Ki Ageng Ngabdurahman, yaitu seorang tokoh spiritual sekaligus leluhur raja-raja Kesultanan Mataram Islam. Beliau merupakan guru Sultan Adiwijaya, pendiri Kesultanan Pajang, yang juga kakek dari Panembahan Senapati, pendiri Kesultanan Mataram Islam Yogyakarta.    Ki Ageng Selo yang bernama asli Bagus Sogom dan juga merupakan keturunan langsung Brawijaya raja terakhir Majapahit ini banyak diceritakan dalam babad tanah Jawa sebagai kisah-kisah legenda.
Alkisah Brawijaya memiliki keturunan Bondan Kejawan yang tak diakui sebagai anak, dan selanjutnya Bondan Kejawen ini berputra Ki Getas Pandawa. Ki Getas Pandawa inilah yang memiliki keturunan berjuluk Ki Ageng Sela, dimana Ki Ageng Sela sendiri kemudian juga memiliki beberapa orang putri dan seorang putra bernama Ki Ageng Ngenis atau acap dipanggil Ki Ageng Enis.  Dari Ki Ageng Ngenis inilah terlahir Ki Ageng Pemanahan, yang kemudian menjadi penguasa pertama Mataram.
  • Silsilah Ki Ageng Selo ( Bagus Sunggam)

Dari Babad Jawa versi Mangkunegaran berikut adalah nama anak Ki Ageng Sela;
    1. Nyai Ageng Lurung Tengah
    2. Nyai Ageng Saba
    3. Nyai Ageng Basri
    4. Nyai Ageng Jati
    5. Nyai Ageng Patanen
    6. Nyai Ageng Pakis Dadu
    7. Ki Ageng Enis
  • Ki Ageng Sela Adalah Perintis Kesultanan Mataram Islam

Tokoh-tokoh perintis kerajaan Mataram Islam tak lain adalah keturunan Raden Bondan Kejawan yang juga merupakan putra Bhre Kertabhumi, raja terakhir kerajaan Majapahit.
Tokoh-tokoh itu adalah Ki Ageng Pamanahan, Ki Juru Martani dan Ki Panjawi yang juga dikenal dengan “Tiga Serangkai Mataram.”   Mereka mendapatkan dukungan dari tokoh lain seperti Bondan Kejawan, Ki Ageng Wonosobo, Ki Ageng Getas Pandawa, Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang, Ki Ageng Made Pandan, Ki Ageng Saba, Ki Ageng Pakringan, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis dan tokoh lain yang masih satu garis keturunanan.
  • Legenda Ki Ageng Sela

Sesuai yang tersurat dalam naskah-naskah babad, kisah hidup Ki Ageng Sela yang bersifat legenda pada umumnya tetap dipercaya sebagian masyarakat Jawa benar-benar terjadi.
Ki Ageng Sela yang tercatat sempat mendaftar sebagai perwira di Kesultanan Demak, dan beliau merupakan prajurit pinilih sebab mampu menakhlukkan seekor banteng.    Hanya saja karena tak tega saat harus berlumuran darah, maka Sultan Demak menolaknya masuk ketentaraan.     Hal itu membuat Ki Ageng Sela menyingkir dari keramaian, nenepi alias menyepi di desa Sela yang kemudian berprofesi sebagai petani dan sekaligus guru spiritual.  Karenanya Ki Ageng Sela sempat pula menjadi guru Jaka Tingkir, pendiri Kesultanan Pajang.
Dari  mendidik Jaka Tingkir inilah Ki Ageng Selo kemudian mempersatukan Jaka Tingkir dengan tiga cucunya, yaitu Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi, yang juga  menjadi pelopor berdirinya Mataram.
Jika orang-orang tua dahulu, tatkala ada petir sering mengucapkan “Gandrik putune Ki Ageng Selo,‘ bisa jadi itu adalah bagian dari cerita legendanya. Karena pada satu catatan, Ki Ageng Sela pernah dikisahkan mampu menangkap petir tatkala sedang bercocoktanam.  Dengan “ilmu linuwih” (kelebihan ilmu) maka kemudian petir tersebut berubah menjadi seorang kakek tua yang dipersembahkan sebagai tawanan pada Kesultanan Demak, hanya saja kakek tua tersebut selanjutnya berhasil kabur dari penjara.
Demi mengenang kesaktian Ki Ageng Sela, pintu masuk Masjid Agung Demak kemudian disebut Lawang Bledheg (pintu petir). Hiasan ukiran berupa ornamen tanaman berkepala binatang yang memiliki gigi runcing diniatkan sebagai simbol petir hasil tangkapan Ki Ageng.
Ki Ageng Sela juga dikaitkan dengan asal-usul pusaka Mataram yang bernama Bende Kyai Bicak, dimana tatkala hendak maju perang, pasukan Mataram biasanya lebih dulu menabuh bende Ki Bicak. Apabila bnyaring buninya itu menjadi pertanda bahwa pihak Mataram akan menang, namun sebaliknya jika tidak berbunyi pertanda musuh yang akan menang.         Ki Ageng Sela juga meninggalkan warisan berupa ajaran moral yang dianut keturunannya di Mataram yang berisi larangan-larangan demi mendapatkan keselamatan, yang selanjutnya dikenal dengan syair macapat berjudul “Pepali Ki Ageng Sela.”

Wejangan Sunan Kalijaga terhadap Ki Ageng Selo

Sebagai orang yang pernah dekat dengan Sunan Kalijaga, meskipun pekerjaannya hanya bertani, Ki Ageng Sela juga seringkali memperoleh wejangan, nasehat, pun pesan dari Sunan Kalijogo yang acapkali dikaitkan dengan pekerjaannya.   Segala perilaku hidup dianalogikan dan kemudian dikupas makna filosofinya, termasuk juga alat untuk bertani berujud cangkul.
Bahwa Pacul terdiri dari 3 bagian, yang pertama adalah plat besi dinamakan sebagai Pacul itu sendiri.  Yang kedua adalah bawak, yang merupakan bagian melingkar pada pacul dan dimasukkan doran Sedangkan yang ketiga adalah doran, yaitu gagang dari cangkul.
  • PACUL
    Dari kata “ngipatake barang kang muncul lan mendugul”  kita bisa mengambil makna   makna tentang membuang bagian yang tidak rata. Bahwa sifat  memperbaiki ada pada kondisi ini.   Sadar sebagai manusia yang tak rata adalah sadar sebagai manusia yang terdapat banyak dosa, oleh karenanya kita harus selalu berbuat baik yaitu dengan cara membuang hal-hal yang ‘mendugul’ berujud dosa tadi.
  • BAWAK
    Adalah  obahing awak alias gerakan tubuh. Ini memiliki makna filosofi bahwa sudah semestinya sebagai orang hidup harus tetap bergerak supaya memperoleh  kesehatan ragawi. Lain dari itu adalah satu keniscayaan badan ini tetap bergerak untuk bekerja agar segala kegiatan duniawi ini mampu tercukupi.
  • DORAN
    Bisa di definisikan sebagai “Donga Marang Pangeran” yaitu Berdoa terhadap Tuhan. Mengondisikan kita sebagai umat sudah sepantasnya meminta pertolongan kepada Tuhan, berdo’a adalah salah satu medianya.
Itulah wejangan sang Sunan terhadap Ki Ageng, bahwa dengan cangkul ternyata tetap ada yang bisa kita kuak, yaitu menggali lapisan  yang ada di dalam lebih diperlukan dibanding  sebatas pada  lapisan luaran saja.  Ialah tanah-tanah pengertian yang mewujud kedalam bentuk lapisan pemahaman dan penerimaan pada perilaku hidup manusia.

Ki Ageng Selo



بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

اللهُم َّصلِّ علٰى سَيِّدنا مُحَمّدٍ عبدِكَ وَنبيِّكَ ورسولِكَ النَّبيِّ الاُمِيّ وَعلٰى اٰلهِ وَصَحْبِهِ وسَلِّم تسليماً بقدرِ عظمةِ ذاَتِكَ في كـُلِّ وَقتٍ وَحيـنٍ

اللهمٌ انفعنا بما علٌمتنا وعلٌمنا ما ينفعنا واجعلنا من عبادك الصالحين آميــــن يا ربٌ العلمين

Sejarah  Ki Ageng Selo( SYEIH ABDURROHMAN)

Makam Ki Ageng Selo teletak di Desa Selo, Kecamatan Tawangharjo 10 km sebelah timur kota Purwodadi, Kabupaten Grobogan sebagai obyek wisata spiritual, makam Ki Ageng Selo ini sangat ramai dikunjungi oleh para peziarah pada malam jum'at, dengan tujuan untuk mencari berkah agar permohonannya dikabulkan oleh Tuhan YME. Ki Ageng Selo sendiri menurut cerita yang berkembang di masyarakat sekitar khususnya atau masyarakat jawa umumnya, diakui memiliki kesaktian yang sangat luar biasa sampai-sampai dengan kesaktiannya ia dapat menangkap petir.


Ki Ageng Selo dipercaya oleh masyarakat jawa sebagai cikal bakal yang menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Selo sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta. Sebelum Gerebeg Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Selo untuk mengambil api abadi yang selalu menyala di dalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta. Api dari sela dianggap sebagai api keramat.

Legenda dari Makam Ki Ageng Selo :

Cerita Ki Ageng Sela merupakan cerita legendaris. Tokoh ini dianggap sebagai penurun raja-raja Mataram, Surakarta dan Yogyakarta sampai sekarang. Ki Ageng Sela atau Kyai Ageng Ngabdurahman Sela, dimana sekarang makamnya terdapat di Desa Sela, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, adalah tokoh legendaris yang cukup dikenal oleh masyarakat Daerah Grobogan, namun belum banyak diketahui tentang sejarahnya yang sebenarnya. Dalam cerita tersebut dia lebih dikenal sebagai tokoh sakti yang mampu menangkap halilintar (bledheg).

Menurut cerita dalam babad tanah Jawi (Meinama, 1905; Al - thoff, 1941), Ki Ageng Sela adalah keturunan Majapahit. Raja Majapahit : Prabu Brawijaya terakhir beristri putri Wandan kuning. Dari putri ini lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Bondan Kejawan. Karena menurut ramalan ahli nujum anak ini akan membunuh ayahnya, maka oleh raja, Bondan Kejawan dititipkan kepada juru sabin raja : Ki Buyut Masharar setelah dewasa oleh raja diberikan kepada Ki Ageng Tarub untuk berguru agama Islam dan ilmu kesaktian.

Oleh Ki Ageng Tarub, namanya diubah menjadi Lembu Peteng. Dia dikawinkan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dari ibu Bidadari Dewi Nawang Wulan. Ki Ageng Tarub atau Kidang Telangkas tidak lama meninggal dunia, dan Lembu Peteng menggantikan kedudukan mertuanya, dengan nama Ki Ageng Tarub II. Dari perkawinan antara Lembu Peteng dengan Nawangsih melahirkan anak Ki Getas Pendowo dan seorang putri yang kawin dengan Ki Ageng Ngerang. Ki Ageng Getas Pandowo berputra tujuh orang yaitu : Ki Ageng Sela, Nyai Ageng Pakis, Nyai Ageng Purna, Nyai Ageng Kare, Nyai Ageng Wanglu, Nyai Ageng Bokong, Nyai Ageng Adibaya.

Kesukaan Ki Ageng Sela adalah bertapa dihutan, gua, dan gunung sambil bertani menggarap sawah. Dia tidak mementingkan harta dunia. Hasil sawahnya dibagi - bagikan kepada tetangganya yang membutuhkan agar hidup berkecukupan. Bahkan akhirnya Ki Ageng Sela mendirikan perguruan Islam. Muridnya banyak, datang dari berbagai penjuru daerah. Salah satu muridnya adalah Mas Karebet calon Sultan Pajang Hadiwijaya. Dalam tapanya itu Ki Ageng selalu memohon kepada Tuhan agar dia dapat menurunkan raja-raja besar yang menguasai seluruh Jawa.

Kala semanten Ki Ageng sampun pitung dinten pitung dalu wonten gubug pagagan saler wetaning Tarub, ing wana Renceh. Ing wanci dalu Ki Ageng sare wonten ing ngriku, Ki Jaka Tingkir (Mas Karebet) tilem wonten ing dagan. Ki Ageng Sela dhateng wana nyangking kudhi, badhe babad. Kathinggal salebeting supeno Ki Jaka Tingkir sampun wonten ing Wana, Sastra sakhatahing kekajengan sampun sami rebah, kaseredan dhateng Ki Jaka Tingkir. (Altholif : 35 - 36).

Impian tersebut mengandung makna bahwa usaha Ki Ageng Sela untuk dapat menurunkan raja-raja besar sudah di dahului oleh Jaka Tingkir atau Mas Karebet, Sultan Pajang pertama. Ki Ageng kecewa, namun akhirnya hatinya berserah kepada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Hanya kemudian kepada Jaka tingkir, Ki Ageng sela berkata : Nanging thole, ing buri turunku kena nyambungi ing wahyumu (Dirdjosubroto, 131; Altholif: 36 ).

Suatu ketika Ki Ageng Sela ingin melamar menjadi prajurit Tamtama di Demak. Syaratnya dia harus mau diuji dahulu dengan diadu dengan banteng liar. Ki Ageng Sela dapat membunuh banteng tersebut, tetapi dia takut kena percikan darahnya. Akibatnya lamarannya ditolak, sebab seorang prajurit tidak boleh takut melihat darah. Karena sakit hati maka Ki Ageng mengamuk, tetapi kalah dan kembali ke desanya, Sela.

Ki Ageng Sela menangkap “ bledheg “ cerita tutur dalam babad :

Ketika Sultan Demak : Trenggana masih hidup pada suatu hari Ki Ageng Sela pergi ke sawah. Hari itu sangat mendung, pertanda hari akan hujan. Tidak lama memang benar-benar hujan lebat turun. Halilintar menyambar. Tetapi Ki Ageng Sela tetap enak-enak menyangkul, baru sebentar dia mencangkul, datanglah “bledheg“ itu menyambar Ki Ageng, berwujud seorang kakek-kakek. Kakek itu cepat-cepat ditangkapnya, kemudian diikat dipohon gandri, dan dia meneruskan mencangkul sawahnya. Setelah cukup, dia pulang dan “ bledheg “ itu dibawa pulang dan dihaturkan kepada Sultan demak.

Oleh Sultan “bledheg“ itu ditaruh didalam jeruji besi yang kuat dan ditaruh ditengah alun-alun. Banyak orang yang berdatangan untuk melihat ujud “bledheg“ itu. Ketika itu datanglah seorang nenek-nenek dengan membawa air kendi. Air itu diberikan kepada kakek “ bledheg“ dan diminumnya. Setelah minum terdengarlah menggelegar memekakkan telinga. Bersamaan dengan itu lenyaplah kakek dan nenek “bledheg” tersebut, sedang jeruji besi tempat mengurung kakek “bledheg” hancur berantakan.

Kemudian suatu ketika Ki Ageng nanggap wayang kulit dengan dhalang Ki Bicak. Istri Ki Bicak sangat cantik. Ki Ageng jatuh cinta pada Nyai Bicak. Maka untuk dapat memperistri Nyai Bicak, Kyai Bicak dibunuhnya. Wayang Bende dan Nyai Bicak diambilnya, “Bende“ tersebut kemudian diberi nama Kyai Bicak, yang kemudian menjadi pusaka Kerajaan Mataram. Bila “Bende“ tersebut dipukul dan suaranya menggema, bertanda perangnya akan menang tetapi kalau dipukul tidak berbunyi pertanda perangnya akan kalah.

Peristiwa lain lagi : Pada suatu hari Ki Ageng Sela sedang menggendong anaknya di tengah tanaman waluh dihalaman rumahnya. Datanglah orang mengamuk kepadanya. Orang itu dapat dibunuhnya, tetapi dia “kesrimpet“ batang waluh dan jatuh telentang, sehingga kainnya lepas dan dia menjadi telanjang. Oleh peristiwa tersebut maka Ki Ageng Sela menjatuhkan umpatan, bahwa anak turunnya dilarang menanam waluh di halaman rumah memakai kain cinde .

… Saha lajeng dhawahaken prapasa, benjeng ing saturun - turunipun sampun nganthos wonten ingkang nyamping cindhe serta nanem waluh serta dhahar wohipun. ( Dirdjosubroto : 1928 : 152 – 153 ).

Dalam hidup berkeluarga Ki Ageng Sela mempunyai putra tujuh orang yaitu : Nyai Ageng Lurung Tengah, Nyai Ageng Saba (Wanasaba), Nyai Ageng Basri, Nyai Ageng Jati, Nyai Ageng Patanen, Nyai Ageng Pakis Dadu, dan bungsunya putra laki - laki bernama Kyai Ageng Enis. Kyai Ageng Enis berputra Kyai Ageng Pamanahan yang kawin dengan putri sulung Kyai Ageng Saba, dan melahirkan Mas Ngabehi Loring Pasar atau Sutawijaya, pendiri Kerajaan Mataram. Adik Nyai Ageng Pamanahan bernama Ki Juru Martani. Ki Ageng Enis juga mengambil anak angkat bernama Ki Panjawi. Mereka bertiga dipersaudarakan dan bersama - sama berguru kepada Sunan Kalijaga bersama dengan Sultan Pajang Hadiwijaya (Jaka Tingkir). Atas kehendak Sultan Pajang, Ki Ageng Enis diminta bertempat tinggal didusun lawiyan, maka kemudian terkenal dengan sebutan Ki Ageng Lawiyan. Ketika dia meninggal juga dimakamkan di desa Lawiyan. (M. Atmodarminto, 1955: 1222).

Dari cerita diatas bahwa Ki Ageng Sela adalah nenek moyang raja-raja Mataram Surakarta dan Yogyakarta. Bahkan pemujaan kepada makam Ki Ageng Sela sampai sekarang masih ditradisikan oleh raja-raja Surakarta dan Yogyakarta tersebut. Sebelum Garabeo Mulud, utusan dari Surakarta datang ke makam Ki Ageng Sela untuk mengambil api abadi yang selalu menyala didalam makam tersebut. Begitu pula tradisi yang dilakukan oleh raja-raja Yogyakarta Api dari Sela dianggap sebagai keramat.

Bahkan dikatakan bahwa dahulu pengambilan api dilakukan dengan memakai arak-arakan, agar setiap pangeran juga dapat mengambil api itu dan dinyalakan ditempat pemujaan di rumah masing-masing. Menurut Shrieke (II : 53), api sela itu sesungguhnya mencerminkan “asas kekuasaan bersinar”. Bahkan data-data dari sumber babad mengatakan bahkan kekuasaan sinar itu merupakan lambang kekuasaan raja-raja didunia. Bayi Ken Arok bersinar, pusat Ken Dedes bersinar; perpindahan kekuasaan dari Majapahit ke Demak diwujudkan karena adanya perpindahan sinar; adanya wahyu kraton juga diwujudkan dalam bentuk sinar cemerlang.

Dari pandangan tersebut, api sela mungkin untuk bukti penguat bahwa di desa Sela terdapat pusat Kerajaan Medang Kamulan yang tetap misterius itu. Di Daerah itu Reffles masih menemukan sisa-sisa bekas kraton tua (Reffles, 1817 : 5). Peninggalan itu terdapat di daerah distrik Wirasaba yang berupa bangunan Sitihinggil. Peninggalan lain terdapat di daerah Purwodadi.

Sebutan “ Sela “ mungkin berkaitan dengan adanya “ bukit berapi yang berlumpur, sumber-sumber garam dan api abadi yang keluar dari dalam bumi yang banyak terdapat di daerah Grobogan tersebut.

Ketika daerah kerajaan dalam keadaan perang Diponegoro, Sunan dan Sultan mengadakan perjanjian tanggal 27 September 1830 yang menetapkan bahwa makam-makam keramat di desa Sela daerah Sukawati, akan tetap menjadi milik kedua raja itu. Untuk pemeliharaan makam tersebut akan ditunjuk dua belas jung tanah kepada Sultan Yogyakarta di sekitar makam tersebut untuk pemeliharaannya. (Graaf, 3,1985 : II). Daerah enclave sela dihapuskan pada 14 Januari 1902. Tetapi makam-makam berikut masjid dan rumah juru kunci yang dipelihara atas biaya rata-rata tidak termasuk pembelian oleh Pemerintah.





 Ki Ageng Selo, Sang Penakluk Kilat/Petir

KEHEBATAN Ki Ageng Selo tak asing lagi bagi penduduk sekitar. Bahkan tersohor hingga ke berbagai negeri. Banyak ora…ng datang padanya dengan berbagai tujuan. Ada yang ingin berguru, ada pula yang datang sekadar untuk minta doa atau disembuhkan dari penyakit yang dideritanya. Kesaktian Ki Ageng Selo tak hanya sampai di situ. Ia pun dapat menangkap kilat yang menyambar-nyambar saat hujan tengah membasahi bumi. Dialah manusia yang ditakuti kilat.

Suatu hari, Ki Ageng Selo sedang asyik duduk di masjid sambil bermunajad. Tangannya memutar-mutar tasbih dan mulutnya tak henti-henti berdzikir. Sementara itu, di luar hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Suasana itu tidak mengganggu kekhusyukan Ki Ageng Selo sama sekali. Bahkan, ia semakin khusyuk. Suara hujan menjadi irama tersendiri dalam hatinya untuk menyenandungkan nama-nama Ilahi.

Namun keadaan menjadi lain ketika kilat datang. Menyambar-nyambar di atas kubah masjid. Penduduk desa takut karenanya. Ki Ageng Selo sejenak membiarkannya. Mungkin hanya sebentar saja mengganggu, batinnya. Semakin dibiarkan, semakin kencang dan sering pula kilat itu menyambar-nyambar. Suaranya menggelegar, memekakkan telinga, membuat anak-anak meringkuk di atas kasurnya, dalam pelukan ibunya. Sementara orang-orang dewasa tak meneruskan pekerjaannya.

Di dalam masjid, Ki Ageng Selo mencoba tetap berkonsentrasi pada dzikirnya. Tetap khusyuk pada wiridnya.

Tiba-tiba di luar masjid penduduk desa berteriak-teriak. Tingkah kilat makin menjadi-jadi. Beberapa pohon tumbang disambarnya. Beberapa rumah roboh ikut terbakar. Mendengar kegaduhan itu, Ki Ageng Selo tak lagi bisa konsentrasi dan khusyuk berdzikir. Maka keluarlah Ki Ageng Selo.

Begitu Ki Ageng Selo sampai di ambang masjid, penduduk desa sudah menyambutnya dengan berbagai keluhan agar Ki Ageng Selo mau menolong mereka.

“Rumah saya, Ki. Sudah terbakar gara-gara kilat itu,” kata salah seorang penduduk.

“Rumah saya juga, hancur karena pohon di depan rumah tumbang gara-gara disambar kilat jahat itu,” kata yang lainnya.

“Lihatlah anak saya, Ki. Kakinya patah terkena reruntuhan rumah,”

Ki Ageng Selo tak banyak bicara. Ia memandangi satu-persatu wajah penduduk yang menyiratkan kesedihan sebab kehilangan harta bendanya.

“Masuklah kalian ke dalam masjid,” suruh Ki Ageng Selo kepada penduduk desa. “Jangan lupa cuci kaki kalian dulu.” Lanjutnya memperingatkan.

Perlahan kaki Ki Ageng Selo melangkah menuruni anak tangga masjid. Sebelum sampai ke tanah, ia berhenti sejenak. Matanya terpejam, bibirnya bergerak-gerak tanda memanjatkan doa.

Setelah selesai dengan ritual kecil tersebut, Ki Ageng Selo lantas melangkahkan kaki dengan mantap.

Aneh! Kata penduduk desa. Hujan yang begitu derasnya, tanpa payung tanpa topi, sama sekali tak membasahi baju Ki Ageng Selo, sedikit pun. Mata penduduk desa terheran-heran menyaksikan kejadian di depan mereka. Mereka tak pernah menyaksikan hal itu sebelumnya.

Langkah kaki terus semakin mantap. Langkah yang aneh. Tak seperti manusia biasa. Tapi ia memang manusia. Manusia yang dikasihi Tuhan. Manusia yang dekat dengan Tuhan.

Langkah aneh itu lama kelaman tidak menyentah tanah. Kaki tetap melangkah tapi tanpa berpijak pada tanah. Hanya angin yang menopang langkahnya menuju lapangan besar di depan masjid, orang-orang menyebutnya alun-alun.

Sampai di tengah alun-alun, Ki Ageng Selo berhenti, tak berbuat apa-apa. Diam. Hanya menyilangkan tangannya di depan dadanya. Sejenak ia menundukkan kepalanya, mungkin berdoa lagi. Lantas mendongakkan kepalanya ke atas langit. Masih diam. Tapi matanya nanar menatap langit.

Ketakutan penduduk desa semakin menjadi-jadi. Kejadian langkah seperti tak pernah mereka saksikan. Yang laki-laki menatap dengan tatapan yang mengherankan pada orang yang mereka kagumi itu di tengah alun-alun, yang perempuan mendekap anaknya yang ketakutan. Semua penduduk merapatkan barisan.

Sang kepala desa berdiri di tengah-tengah penduduk desa.

“Saudara-saudara semua, mari kita panjatkan doa kepada Tuhan sebisa mungkin, agar Ki Ageng Selo selamat dan dapat menghentikan bencana ini.”

“Ya. Mari…” sambut penduduk.

Mulut semua penduduk lantas berkomat-kamit. Tak banyak dari penduduk yang tak hafal doa, bahkan ada yang tidak bisa sama sekali. Tapi mereka berupaya semampu mereka. Mengeja apa yang mereka tahu sebagai doa.

Sementara itu, di atas alun-alun depan masjid, suara guntur dan sambaran kilat makin menjadi-jadi. Langit makin gelap. Mendung berputar-putar melingkar di atas alun-alun.

Seketika mulut penduduk desa menjerit. Sekelebat cahaya penuh amarah menyambar Ki Ageng Selo yang berada di tengah-tengah lapangan. Semuanya menutup mata dan menyembunyikan wajah, seolah takut menerima kenyataan.

“Masyaallah. Astaghfirullah.” seru salah seorang penduduk yang mengagetkan penduduk lainnya.

Bukan kelegaan yang mereka lihat. Tapi justru ketegangan semakin memompa darah. Tak disangka-sangka, kilat yang selama ini ditakuti manusia, sekarang berada di tangan Ki Ageng Selo. Sungguh pemandangan yang mengagumkan. Lantas terjadi dialog di antara keduanya.

“Wahai, Kilat. Berhentilah mengganggu penduduk sekitar.” Kata Ki Ageng Selo kepada kilat yang berada di tangannya.

“Baiklah. Aku tidak akan mengganggu penduduk lagi, juga beserta anak-cucumu.” Jawab Kilat.

Lega juga hati penduduk desa. Selesai juga peristiwa menegangkan itu. Penduduk desa menyambut Ki Ageng Selo penuh rasa haru dan menyalami tangannya dengan mencium tangannya.

Besoknya para penduduk membuat gambar kilat yang pada kayu berbentuk ukiran sebesar pintu masjid. Lantas mereka menyerahkannya kepada Ki Ageng Selo. Dengan senang hati Ki Ageng Selo menerimanya dan dipasang di pintu depan masjid Demak. Dan masih bisa dilihat hingga sekarang.

Sejak saat itu kilat tak lagi membuat kacau dan mengganggu penduduk. Hanya sesekali bersuara di atas desa itu. Penduduk desa semakin rajin menunaikan ibadah di masjid dan menghentikan pekerjaan mereka ketika adzan berkumandang.

Selain itu, ketika hujan dan kilat datang, anak-anak dan penduduk desa tak lagi takut. Jika ada kilat yang menyambar, mereka akan mengatakan dengan tenang, “Aku cucunya Ki Ageng Selo.”

sumber https://ashakimppa.blogspot.co.id/2012/07/sejarah-ki-ageng-selo-syeih-abdurrohman.html

Rabu, 18 Januari 2017

Misteri Kesaktian Pangeran Diponegoro



Salah satu Pahalwan Nasional nan paling dikenal sebab jasanya terhadap negara ialah Pangeran Diponegoro. Pahlawan nan juga sangat memperhatikan global pendidikan ini merupakan pahlawan nan dikenal sangat berani. Ia dengan gagah menantang Belanda nan mengakibtkan terjadinya Perang Sabil. Namun, dibalik cerita kepahlawanannya, tak banyak nan tahu kalau Beliau memiliki kesaktian nan tak diduga. Kesaktian Pangeran Diponegoro ini barangkali merupakan senjata utamanya dalam menghadapi Tentara Belanda.


Riwayat Pangeran Diponegoro
Namun, sebelum mengetahui seperti apa kesaktian beliau, terlebih dahulu harus tahu siapa sebenarnya Pangeran Diponegoro ? Pangeran Diponegoro merupakan putra seorang selir nan lahir di Yogyakarta pada tangal 11 November 1785. Sebelum mendapatkan julukan Pangeran Diponegoro, beliau dikenal dengan nama orisinil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Saat ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III memintanya buat menjadi raja, beliau menolak permintaan tersebut. Beliau merasa bahwa dirinya hanyalah seorang anak dari selir bukan Ratu.

Saat beranjak dewasa, Pangeran Diponegoro lebih banyak menggunakan waktunya buat mendalami agama. Beliau tinggal di Tegalrejo. Pendalamannya terhadap agama membuat beliau dan kaum keraton saling berseberangan. Disparitas paham ini akhirnya menimbulkan kisruh diantara kedua belah pihak.

Saat kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822), terjadi pemberontakan terhadap Keraton nan dipimpin Pangeran Diponegoro. Pemberontakan ini didasari sebab saat itu Sultan Hamengkubuwana V (1822) masih berusia 3 tahun.

Tampuk kesultanan saat itu dijalankan oleh Patih Danurejo nan bekerjasama dengan Residen Belanda. Sistem seperti inilah nan tak disukai oleh Pangeran Diponegoro, sebab seolah-olah Keraton ialah boneka nan dapat dikendalikan Belanda.


Pangeran Diponegoro dan Belanda
Belanda mengenal Pangeran Diponegoro sebagai sebuah ancaman besar. Kesaktian Pangeran Diponegoro hanya dapat ditandingi oleh cara-cara licik Belanda. Pertempuran dua kubu ini diawali oleh ulah Belanda nan mengklaim tanah milik Diponegoro di Tegalrejo. Tidak hanya itu, Belanda juga sangat semena-mena terhadap rakyat pribumi. Mereka membebani rakyat dengan pajak nan tak wajar.

Pangeran Mangkubumi, paman dari Pangeran Diponegoro menyarankan beliau dan para pengikutnya buat mundur terlebih dahulu dari Tegalrejo. Pangeran Diponegoro pun menuruti saran pamannya itu. Beliau lantas membuat markas di sebuah Goa nan selanjutnya dikenal sebagai Goa Selarong.

Di loka inilah, Pangeran Diponegoro membuat planning besar dan mengumpulkan kekuatan buat melakukan perlawanan terhadap Belanda. Perlawanan nan dideklarasikan sebagai “Perang Sabil” itu membawa pengaruh besar pada pihak-pihak nan kontra pada Belanda. Kyai Maja, seorang ulama besar dari Surakarta merupakan salah satu nan mendukung perlawanan ini.

Rencana besar Pangeran Diponegoro ini tak sia-sia. Dalam pertempuran tersebut, setidaknya hampir 15.000 ribu tentara Belanda mati. Tidak hanya itu, dampak perang tersebut, secara materi Belanda mengalami kerugian sebesar 20 juta gulden. Kekalahan Belanda saat itu hampir mendekati paripurna kalau saja Belanda tak memakai cara licik.

Belanda mengumumkan Pangeran Diponegoro sebagai buronan dan nan dapat menangkapnya akan diberikan imbalan nan cukup besar. Sayangnya sayembara tersebut tak membuahkan hasil seperti nan diinginkan Belanda.

Belanda tidak kehabisan akal. Tepatnya tanggal 28 Maret 1830, Pangeran Dipeonegoro menemui Jenderal de Kock. Rendezvous nan terjadi di Magelang tersebut ternyata merupakan rendezvous jebakan.

Dalam perundingan itu, Pangeran Dipeonegoro diminta buat melakukan gencatan senjata. Dengan tegas, Sang Pangeran menolak permintaan tersebut. Kekukuhan dan keberanian Pangeran Diponegoro ini membuat Belanda kesal dan seketika Pangeran disergap dan diasingkan.

Pada tangal 5 April, masih tahun nan sama, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia. Satu bulan kemudian, Pangeran Diponegoro beserta kerabat dan pengikutnya diasingkan ke Manado. Empat tahun sesudah itu, mereka dipindahkan ke benteng Rotterdam nan berada di kota Makassar.

Di kota inilah, sang pahlawan gagah berani menghembuskan nafas terakhirnya. Pada bulan Januari tahun 1855, tepatnya tangal 1, ayah dari Bagus Singlon ini telah dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Beliau lantas dimakamkan di kampung Jawa, Makassar.


Misteri Kesaktian Pangeran Diponegoro
Kegagahan dan keberanian Pangeran Diponegoro dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, diyakini oleh beberapa orang sebab Sang Pangeran memiliki kesaktian nan tak dimiliki kebanyakan orang.

Pangeran nan sering berpergian ke daerah sunyi dan tentram ini dianggap oleh sebagian orang memiliki kesaktian sebab pendalaman spiritualnya. Beliau memang dikenal sangat taat agama. Meskipun berada pada lingkungan keraton nan taat pada peraturan turun-temurun, namun beliau tetap teguh menganut agamanya.

Selain itu, ada juga nan menyebutkan bahwa kesaktian sang pangeran bukan saja kekuatan spiritualnya. Ada kekuatan lain nan menyebabkan Pangeran Diponegoro begitu sakti. Apa misteri kesaktian Pangeran Diponegoro? Berikut dijelaskan misteri lain Pangeran Diponegoro nan dikumpulkan dari berbagai sumber.

Sarotama, senjata sakti Sang Pangeran
Salah satu sumber menyatakan bahwa kesaktian nan dimiliki Pangeran Diponegoro berasal dari senjata cundrik nan selalu diselipkan di bagian depan. Sundrik itu diyakini merupakan keris nan diberikan Ratu Kidul kepada Pangeran Diponegoro. Orang-orang menyebut Cundrik nan dipakai Pangeran Diponegoro dengan sebutan Sarotama.

Sarotama diyakini didapatkan Pangeran Diponegoro saat beliau mandi di Parangtritis . Ketika itu, beliau sedang duduk tenang dan bersandar pada sebuah batu bernama Watu Gilang. Secara tiba-tiba, muncul suara aneh nan diyakini sebagai suara Ratu Kidul.

Tanpa wujud dan hanya suara nan menggema, Ratu Kidul memberikan arahan pada Pangeran Diponegoro agar janga tergoda dengan segala hal nan diberikan oleh Belanda baik harta ataupun tahta.

Kemudian suara Ratu Kidul menghilang. Setelah itu, muncul cahaya dari langit nan membawa cundrik nan kemudian dipakai oleh Pangeran Diponegoro. Berkat cundrik inilah, Pangeran Diponegoro diyakini memilliki keberanian dan kepintaran saat berperang melawan Belanda.

Kesaktian mengubah merang jadi pasukan
Merang atau tangkai padi dianggap oleh beberapa kalangan sebagai misteri lain kesaktian Pangeran Diponegoro. Disebutkan, bahwa salah satu keberhasilan Pangeran Diponegoro ialah kesaktiannya mengubah tangkai padi menjadi pasukan. Dikisahkan jika Pangeran Diponegoro memiliki banyak pengikut buat berperang melawan Belanda nan semuanya berasal dari tangkai Padi.

Kekuatan nan satu ini memang terkesan berlebihan. Namun, setelah dianalisis lebih dalam, kisah kemampuan Pangeran Diponegoro nan mengubah tangkai padi menjadi pasukan dapat jadi hanya sebuah peribahasa belaka. Cerita itu merupakan perumpamaan atau kisah ntuk dilebih-lebihkan dengan tujuan membuat takut versus (dalam hal ini Belanda).

Dasarnya ialah rakyat Indonesia itu terbiasa makan beras. Beras berasal dari padi . Pada saat itu banyak rakyat nan kelaparan. Pangeran Diponegoro tentu dengan baik hati memberikan mereka kemakmuran dengan berbagi padi. Kebaikan inilah nan membuat hati rakyat tersentuh dan mau berada pada pihak Pangeran Diponegoro.

Kebal peluru
Kesaktian lain dari pangeran nan mempunyai tiga istri ini ialah tak dapat dilukai oleh peluru. Seorang Residen Belanda, Pietermaart pernah menyebutkan jika Pangeran Diponegoro tahan peluru. Ia pernah melihat Pangeran Diponegoro bertelanjang dada saat berada di pekarangan Benteng Amsterdam. Tidak ada bekas luka pada badan Diponegoro. Pietermaart sangat konfiden saat itu sang pangeran ditembak pada bagian dada kiri dan lengan kanannya.

Itulah beberapa kesaktian Pangeran Diponegoro nan syahdan menjadi cerita menarik dan kontroversi sampai saat ini. Pada salah satu sumber, Pangeran Diponegoro sendiri pernah mengatakan kepada istrinya jika dia tak memiliki kekuatan seperti nan orang lain katakan. Menurut beliau, Kesaktian-kesaktian tersebut hanyalah dugaan orang-orang di sekeliling beliau. Beliau sendiri hanyalah manusia biasa nan taat agama.

sumber
http://www.binasyifa.com/169/38/26/misteri-kesaktian-pangeran-diponegoro.htm