Syaikh Dalhar
Watucongol
Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِى
شَيْبَةَ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ قَالاَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ
يَزِيدَ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ أَبِى حَازِمٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ زَارَ
النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ
فَقَالَ « اسْتَأْذَنْتُ رَبِّى فِى أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِى
وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِى أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِى فَزُورُوا الْقُبُورَ
فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ »
Dari Abu
Bakr bin Abi Syaibah dan Zuhair bin Harb, mereka berdua berkata: Muhammad Bin
‘Ubaid menuturkan kepada kami: Dari Yaziid bin Kasyaan, ia berkata: Dari Abu
Haazim, ia berkata: Dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam berziarah kepada makam ibunya, lalu beliau
menangis, kemudian menangis pula lah orang-orang di sekitar beliau. Beliau lalu
bersabda: “Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan bagi ibuku,
namun aku tidak diizinkan melakukannya. Maka aku pun meminta izin untuk
menziarahi kuburnya, aku pun diizinkan. Berziarah-kuburlah, karena ia dapat
mengingatkan engkau akan kematian”
(HR.
Muslim no.108, 2/671)
Keutamaan
Ziarah kubur :
Haram
hukumnya memintakan ampunan bagi orang yang mati dalam keadaan kafir (Nailul
Authar [219], Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi [3/402]). Sebagaimana juga firman
Allah Ta’ala:
مَا
كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ
وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi
dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang
musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya)” (QS. At
Taubah: 113)
Berziarah
kubur ke makam orang kafir hukumnya boleh (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi,
3/402). Berziarah kubur ke makam orang kafir ini sekedar untuk perenungan diri,
mengingat mati dan mengingat akhirat. Bukan untuk mendoakan atau memintakan
ampunan bagi shahibul qubur. (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 187)
Jika
berziarah kepada orang kafir yang sudah mati hukumnya boleh, maka berkunjung
menemui orang kafir (yang masih hidup) hukumnya juga boleh (Syarh Shahih Muslim
Lin Nawawi, 3/402).
Hadits
ini adalah dalil tegas bahwa ibunda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mati dalam
keadaan kafir dan kekal di neraka (Syarh Musnad Abi Hanifah, 334)
Tujuan
berziarah kubur adalah untuk menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri akan
kematian (Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 3/402)
An
Nawawi, Al ‘Abdari, Al Haazimi berkata: “Para ulama bersepakat bahwa ziarah
kubur itu boleh bagi laki-laki” (Fathul Baari, 4/325). Bahkan Ibnu Hazm
berpendapat wajib hukumnya minimal sekali seumur hidup. Sedangkan bagi wanita
diperselisihkan hukumnya. Jumhur ulama berpendapat hukumnya boleh selama
terhindar dari fitnah, sebagian ulama menyatakan hukumnya haram mengingat
hadits ,
لَعَنَ اللَّه زَوَّارَات الْقُبُور
“Allah melaknat wanita yang sering
berziarah kubur” (HR. At Tirmidzi no.1056, komentar At Tirmidzi: “Hadits ini
hasan shahih”)
Dan
sebagian ulama berpendapat hukumnya makruh (Fathul Baari, 4/325). Yang rajih
insya Allah, hukumnya boleh bagi laki-laki maupun wanita karena tujuan berziarah
kubur adalah untuk mengingat kematian dan mengingat akhirat, sedangkan ini
dibutuhkan oleh laki-laki maupun perempuan (Ahkam Al Janaaiz Lil Albani, 180).
Ziarah
kubur mengingatkan kita akan akhirat. Sebagaimana riwayat lain dari hadits ini:
زوروا القبور ؛ فإنها تذكركم الآخرة
“Berziarah-kuburlah, karena ia
dapat mengingatkanmu akan akhirat” (HR. Ibnu Maajah no.1569)
Ziarah
kubur dapat melembutkan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadits yang lain:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور ألا فزوروها
فإنها ترق القلب ، وتدمع العين ، وتذكر الآخرة ، ولا تقولوا هجرا
“Dulu aku pernah melarang kalian
untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah
kubur. Karena ia dapat melembutkan hati, membuat air mata berlinang, dan
mengingatkan kalian akan akhirat namun jangan kalian mengatakan perkataan yang
tidak layak (qaulul hujr), ketika berziarah” (HR. Al Haakim no.1393,
dishahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jaami’, 7584)
Ziarah
kubur dapat membuat hati tidak terpaut kepada dunia dan zuhud terhadap gemerlap
dunia. Dalam riwayat lain hadits ini disebutkan:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزوروا
القبور فإنها تزهد في الدنيا وتذكر الآخرة
“Dulu aku pernah melarang kalian
untuk berziarah-kubur. Namun sekarang ketahuilah, hendaknya kalian berziarah
kubur. Karena ia dapat membuat kalian zuhud terhadap dunia dan mengingatkan
kalian akan akhirat” (HR. Al Haakim no.1387, didhaifkan Al Albani dalam Dha’if
Al Jaami’, 4279)
Al Munawi
berkata: “Tidak ada obat yang paling bermanfaat bagi hati yang kelam selain
berziarah kubur. Dengan berziarah kubur, lalu mengingat kematian, akan
menghalangi seseorang dari maksiat, melembutkan hatinya yang kelam, mengusir
kesenangan terhadap dunia, membuat musibah yang kita alami terasa ringan.
Ziarah kubur itu sangat dahsyat pengaruhnya untuk mencegah hitamnya hati dan
mengubur sebab-sebab datangnya dosa. Tidak ada amalan yang sedahsyat ini
pengaruhnya” (Faidhul Qaadir, 88/4)
Disyariatkannya
ziarah kubur ini dapat mendatangkan manfaat bagi yang berziarah maupun bagi
shahibul quburyang diziarahi (Ahkam Al Janaiz Lil Albani, 188). Bagi yang
berziarah sudah kami sebutkan di atas. Adapun bagi shahibul qubur yang
diziarahi (jika muslim), manfaatnya berupa disebutkan salam untuknya, serta doa
dan permohonan ampunan baginya dari peziarah. Sebagaimana hadits:
كيف أقول لهم يا رسول الله؟ قال: قولي:
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين، ويرحم الله المستقدمين منا
والمستأخرين وإنا إن شاء الله بكم للاحقون
“Aisyah bertanya: Apa yang harus
aku ucapkan bagi mereka (shahibul qubur) wahai Rasulullah? Beliau bersabda:
Ucapkanlah: Assalamu ‘alaa ahlid diyaar, minal mu’miniina wal muslimiin, wa
yarhamullahul mustaqdimiina wal musta’khiriina, wa inna insyaa Allaahu bikum
lalaahiquun (Salam untuk kalian wahai kaum muslimin dan mu’minin penghuni
kubur. Semoga Allah merahmati orang-orang yang telah mendahului (mati), dan
juga orang-orang yang diakhirkan (belum mati). Sungguh, Insya Allah kami pun
akan menyusul kalian” (HR. Muslim no.974)
Ziarah
kubur yang syar’i dan sesuai sunnah adalah ziarah kubur yang diniatkan
sebagaimana hadits di atas, yaitu menasehati diri dan mengingatkan diri sendiri
akan kematian. Adapun yang banyak dilakukan orang, berziarah-kubur dalam rangka
mencari barokah, berdoa kepada shahibul qubur adalah ziarah kubur yang tidak
dituntunkan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Selain itu Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam juga melarang qaulul hujr ketika berziarah kubur
sebagaimana hadits yang sudah disebutkan. Dalam riwayat lain disebutkan:
ولا تقولوا ما يسخط الرب
“Dan janganlah mengatakan
perkataan yang membuat Allah murka” (HR. Ahmad 3/38,63,66, Al Haakim, 374-375)
Termasuk
dalam perbuatan ini yaitu berdoa dan memohon kepada shahibul qubur,
ber-istighatsah kepadanya, memujinya sebagai orang yang pasti suci, memastikan
bahwa ia mendapat rahmat, memastikan bahwa ia masuk surga, (Ahkam Al Janaiz Lil
Albani, 178-179)
Tidak
benar persangkaan sebagian orang bahwa ahlussunnah atau salafiyyin melarang
ummat untuk berziarah kubur. Bahkan ahlussunnah mengakui disyariatkannya ziarah
kubur berdasarkan banyak dalil-dalil shahih dan menetapkan keutamaannya. Yang
terlarang adalah ziarah kubur yang tidak sesuai tuntunan Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam yang menjerumuskan kepada perkara bid’ah dan terkadang
mencapai tingkat syirik.
Riwayat
Mbah Dalhar
Beliau
memang masih keturunan dari laskar pejuang Pangeran Diponegoro di eks
Karsidenan Kedu. Tak heran selain berdakwah, Mbah Dalhar juga mewarisi semangat
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan Kemerdekaan RI
Mbah Kiai
Dalhar lahir di komplek pesantren Darussalam, Watucongol, Muntilan, Magelang
pada hari Rabu, 10 Syawal 1286 H (12 Januari 1870 M). Ketika lahir ia diberi
nama oleh ayahnya dengan nama Nahrowi. Ayahnya adalah seorang mudda’i ilallah
bernama Abdurrahman bin Abdurrauf bin Hasan Tuqo.
Kiai
Abdurrauf adalah salah seorang panglima perang Pangeran Diponegoro. Nasab Kiai
Hasan Tuqo sendiri sampai kepada Sunan Amangkurat Mas atau Amangkurat III. Oleh
karenanya sebagai keturunan raja, Kiai Hasan Tuqo juga mempunyai nama lain
dengan sebutan Raden Bagus Kemuning.
Diriwayatkan, Kiai Hasan Tuqo keluar dari komplek keraton karena ia lebih
senang mempelajari ilmu agama daripada hidup dalam kepriyayian. Belakangan
waktu baru diketahui jika ia hidup menyepi didaerah Godean, Yogyakarta.
Sekarang desa tempat ia tinggal dikenal dengan nama desa Tetuko. Sementara itu
salah seorang puteranya bernama Abdurrauf juga mengikuti jejak ayahnya yaitu
senang mengkaji ilmu agama. Namun ketika Pangeran Diponegoro membutuhkan
kemampuan beliau untuk bersama – sama memerangi penjajah Belanda, Abdurrauf
tergerak hatinya untuk membantu sang Pangeran.
Dalam
gerilyanya, pasukan Pangeran Diponegoro sempat mempertahankan wilayah Magelang
dari penjajahan secara habis–habisan. Karena Magelang bagi pandangan militer
Belanda nilainya amat strategis untuk penguasaan teritori lintas Kedu. Oleh
karenanya, Pangeran Diponegoro membutuhkan figure–figure yang dapat membantu
perjuangannya melawan Belanda sekaligus dapat menguatkan ruhul jihad di
masyarakat.
Menilik
dari kelebihan yang dimilikinya serta beratnya perjuangan waktu itu maka
diputuskanlah agar Abdurrauf diserahi tugas untuk mempertahankan serta menjaga
wilayah Muntilan dan sekitarnya. Untuk ini Abdurrauf kemudian tinggal di dukuh
Tempur, Desa Gunung Pring, Kecamatan Muntilan. Beliau lalu membangun sebuah
pesantren sehingga masyhurlah namanya menjadi Kiai Abdurrauf.
Pesantren
Kiai Abdurrauf ini dilanjutkan oleh putranya yang bernama Abdurrahman. Namun
letaknya bergeser ke sebelah utara ditempat yang sekarang dikenal dengan dukuh
Santren (masih dalam desa Gunung Pring). Sementara ketika masa dewasa mbah Kiai
Dalhar, beliau juga meneruskan pesantren ayahnya (Kiai Abdurrahman) hanya saja
letaknya juga digeser kearah sebelah barat ditempat yang sekarang bernama Watu
Congol.
Nama
“Dalhar”
Mbah Kiai
Dalhar adalah seorang yang dilahirkan dalam ruang lingkup kehidupan pesantren.
Oleh karenanya semenjak kecil beliau telah diarahkan oleh ayahnya untuk
senantiasa mencintai ilmu agama. Pada masa kanak-kanaknya, ia belajar Al-Qur’an
dan beberapa dasar ilmu keagamaan pada ayahnya sendiri yaitu Kiai Abdurrahman.
Menginjak usia 13 tahun, mbah Kiai Dalhar mulia belajar mondok. Ia dititipkan
oleh sang ayah pada Mbah Kiai Mad Ushul (begitu sebutan masyhurnya) di Dukuh
Mbawang, Desa Ngadirejo, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Disini ia
belajar ilmu tauhid selama kurang lebih 2 tahun.
Sesudah
dari Salaman, saat ia berusia 15 tahun mbah Kiai Dalhar dibawa oleh ayahnya ke
Pondok Pesantren Al-Kahfi Somalangu, Kebumen. Oleh ayahnya, mbah Kiai Dalhar diserahkan
pendidikannya pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani
atau yang ma’ruf dengan laqobnya Syeikh Abdul Kahfi Ats-Tsani. Delapan tahun
mbah Kiai Dalhar belajar di pesantren ini. Dan selama di pesantren beliau
berkhidmah di ndalem pengasuh. Itu terjadi karena atas dasar permintaan ayahnya
sendiri pada Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani.
Kurang
lebih pada tahun 1314 H/1896 M, mbah Kiai Dalhar diminta oleh gurunya yaitu
Syeikh As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani untuk menemani putera
laki – laki tertuanya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani
thalabul ilmi ke Makkah Musyarrafah. Dalam kejadian bersejarah ini ada kisah
menarik yang perlu disuri tauladani atas ketaatan dan keta’dziman mbah Kiai
Dalhar pada gurunya.
Syeikh
As_Sayid Ibrahim bin Muhammad Al-Jilani Al-Hasani punya keinginan menyerahkan
pendidikan puteranya yang bernama Sayid Abdurrahman Al-Jilani Al-Hasani kepada
shahabat karibnya yang berada di Makkah dan menjadi mufti syafi’iyyah waktu itu
bernama Syeikh As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani (ayah Syeikh As_Sayid
Muhammad Sa’id Babashol Al-Hasani). Sayid Abdurrahman Al-Hasani bersama mbah
Kiai Dalhar berangkat ke Makkah dengan menggunakan kapal laut melalui pelabuhan
Tanjung Mas, Semarang.
Dikisahkan
selama perjalanan dari Kebumen, singgah di Muntilan dan kemudian lanjut sampai
di Semarang, saking ta’dzimnya mbah Kiai Dalhar kepada putera gurunya, beliau
memilih tetap berjalan kaki sambil menuntun kuda yang dikendarai oleh Sayid
Abdurrahman Alhasany. Padahal Sayid Abdurrahman telah mempersilahkan mbah Kiai
Dalhar agar naik kuda bersama. Namun itulah sikap yang diambil oleh sosok mbah
Kiai Dalhar.
Sesampainya
di Makkah (waktu itu masih bernama Hejaz), mbah Kiai Dalhar dan Sayid
Abdurrahman Alhasany tinggal di rubath (asrama tempat para santri tinggal)
Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani yaitu didaerah Misfalah. Sayid
Abdurrahman Alhasany dalam rihlah ini hanya sempat belajar pada Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani selama 3 bulan, karena ia diminta oleh
gurunya dan para ulama Hejaz untuk memimpin kaum muslimin mempertahankan Makkah
dan Madinah dari serangan sekutu. Sebagai Panglima Perang.
Sementara
itu mbah Kiai Dalhar diuntungkan dengan dapat belajar ditanah suci tersebut
hingga mencapai waktu 25 tahun. Syeikh As-Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani
inilah yang kemudian memberi nama “Dalhar” pada mbah Kiai Dalhar. Hingga
ahirnya ia memakai nama Nahrowi Dalhar. Dimana nama Nahrowi adalah nama
aslinya. Dan Dalhar adalah nama yang diberikan untuk beliau oleh Syeikh
As_Sayid Muhammad Babashol Al-Hasani. Rupanya atas kehendak Allah Swt, mbah
Kiai Nahrowi Dalhar dibelakang waktu lebih masyhur namanya dengan nama
pemberian sang guru yaitu Mbah Kiai “Dalhar”.
Ketika
berada di Hejaz inilah Kiai Nahrowi Dalhar memperoleh ijazah kemusrsyidan
Thariqah As-Syadziliyyah dari Syeikh Muhtarom Al-Makki dan ijazah aurad
Dalailil Khoerat dari Sayid Muhammad Amin Al-Madani. Dimana kedua amaliyah ini
dibelakang waktu menjadi bagian amaliah rutin yang memasyhurkan namanya di
tanah Jawa.
Hizb
Bambu Runcing
Mbah Kiai
Dalhar adalah seorang ulama yang senang melakukan riyadhah. Selama di tanah
suci, mbah Kiai Dalhar pernah melakukan khalwatselama 3 tahun disuatu goa yang
teramat sempit tempatnya. Dan selama itu pula beliau melakukan puasa dengan
berbuka hanya memakan 3 buah biji kurma saja serta meminum seteguk air zamzam
secukupnya. Dari bagian riyadhahnya, beliau juga pernah melakukan riyadhah
khusus untuk medoakan para keturunan beliau serta para santri – santrinya.
Dalam hal adab selama ditanah suci, mbah Kiai Dalhar tidak pernah buang air
kecil ataupun air besar di tanah Haram. Ketika merasa perlu untuk qadhil hajat,
ia lari keluar tanah Haram.
Setelah
pulang dari tanah suci, sekitar tahun 1900 M ia kemudian meneruskan perdikan
peninggalan nenek moyangnya yang berupa pondok kecil di kaki bukit kecil Gunung
Pring, Watu Congol, Kecamatan Muntilan Kabupaten Magelang. Kurang lebih 3
kilometer sebelah timur Candi Borobudur. Pondok pesantren kecil ini lambat laun
tidak hanya dihuni oleh santri-santri sekitar eks Karsidenan Kedu saja namun
sampai pelosok tanah Jawa.
Bahkan
ketika masa-masa perang pra dan masa kemerdekaan, pondok pesantren Watucongol
menjadi markas dan sekaligus tempat singgah para pejuang tentara bambu runcing
yang datang Jogjakarta dan wilayah Jawa bagian barat seperti eks Karsidenan
Banyumas dan sebagian dari Jawa Barat. Konon ceritanya, bambu runcing para pejuang
harus diasma hizb dahulu oleh KH Dalhar dan KH Subekhi (Parakan Temanggung)
sebelum menyerang markas penjajah Belanda di Ambarawa, Semarang.
Dikisahkan,
dengan bermodalkan bambu runcing, para pejuang kemerdekaan menyerang benteng
Belanda di Ambarawa, bambu-bambu runcing mampu terbang dengan sendirinya bak
senapan menyerang tentara-tentara Belanda. Sementara bombardir peluru serta
granat tangan kumpeni Belanda tidak mampu melukai apalagi menyentuh kulit para
pejuang Republik Indonesia.
Karya mbah
Kiai Dalhar yang sementara ini dikenal dan telah beredar secara umum adalah
KitabTanwirul Ma’ani. Sebuah karya tulis berbahasa Arab tentang manaqib Syeikh
As-Sayid Abu Hasan ‘Ali bin Abdillah bin Abdil Jabbar As-Syadzili Al-Hasani,
imam thariqah As-Syadziliyyah.
Banyak
sekali tokoh – tokoh ulama terkenal negara ini yang sempat berguru kepadanya
semenjak sekitar tahun 1920 – 1959. Diantaranya adalah KH Mahrus, Lirboyo ; KH
Dimyathi, Banten ; KH Marzuki, Giriloyo dll. Sesudah mengalami sakit selama kurang
lebih 3 tahun, Mbah Kiai Dalhar wafat pada hari Rabu Pon, 29 Ramadhan 1890 –
Jimakir (1378 H) atau bertepatan dengan 8 April 1959 M dan beliau kemudian di
makamkan di komplek makam Gunung Pring, Watucongol, Kecamatan Muntilan
Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Sekalipun
jasadnya telah terkubur dalam tanah, karya dan penerus perjuangan Mbah Dalhar
tetap berkelanjutan sampai sekarang. Pondok Pesantren Darussalam, Watu Congol
adalah saksi sejarah napak tilas perjuangan dakwah Mbah Dalhar. Jalan menuju
makam Watucongol memang terbilang mudah. Peziarah ruhani biasanya melengkapi
ziarah Wali Songo atau wisata liburan dengan melewati jalur tengah yang
menghubungkan jalan utama dari Jogjakarta menuju Semarang. Ketika melewati kota
Muntilan, dari arah pasar Muntilan cukup sekitar 5 kilo ke sebelah barat
menunuju kawasan Gunung Pring.
Untuk
memperingati jejak sejarah Mbah Dalhar dan Pesantren Darusalam Watu Congol
Muntilan, setiap akhir bulan Sya’ban dan Senin setelah tanggal 10 Syawal tahun
Hijriah biasanya haulnya diperingati di kompleks Pesantren Darussalam
Watucongol, dan Kompleks makam Gunung Pring Muntilan Magelang.
Dipastikan
kedua kompleks perdikan bersejarah itu tak pernah sepi oleh penziarah yang
datang tidak saja dari penjuru Nusantara namun juga Mancanegara.